Kota
Judul
Penulis
Dalam konstelasi perfilman Indonesia, atau bahkan dunia, Bali selalu hadir sebagai latar dan objek yang mooi indie. Eat, Pray, Love (Ryan Murphy, 2010) hampir pasti selalu disertakan ketika membicarakan Bali dan relasinya dengan film. Perlakuan terhadap Bali dengan segala objektifikasi melalui kacamata orientalis ini tak bisa dilepaskan dari imaji destinasi pariwisata dunia yang dilekatkan pada Bali. Bahkan jauh sebelumnya, Bali telah hadir dalam film-film produksi mancanegara, seperti Legong, Dance of the Virgins (1935), Goona Goona or The Kriss (1932), Toute la Beauté du Monde (2006). Film-film dengan latar Bali yang diproduksi pembuat film Indonesia pun menghadirkan bingkai yang tak jauh dari eksposur bentang alam dan budaya yang romantis, serta suasana magis dari Bali. Mulai dari Impian di Bali (1939), Noesa Penida (1941), Kabut di Kintamani (1972), Mistik (Punahnya Rahasia Ilmu Iblis Leak) (1981), Ratu Sakti Calon Arang (1985), hingga Under the Tree (2008).
Fenomena ini seolah menyiratkan bahwa kehadiran Bali dalam ekosistem perfilman amat pasif sekaligus menegasikan dinamika masyarakat yang terus bertumbuh di Bali. Dalam konteks perfilman, Bali memiliki para pelaku-pelaku perfilman yang mulai membaca Bali dengan lebih bervariasi, perspektif lokal yang lebih personal alih-alih turistik—meski tidak sedikit pula karya film yang hanya menduplikasi cara pandang turistik dan eksotis serupa pamflet pariwisata. Lalu, siapa saja pelaku-pelaku yang menggerakkan perfilman di Bali? Bagaimana mereka saling terhubung dan bergerak menghidupkan perfilman Bali melalui karya maupun ruang tayang film?
Runtuhnya Orde Baru memungkinkan orang-orang lebih leluasa untuk berhimpun dan berserikat. Dalam konteks seni-budaya, dampaknya mewujud pada kemunculan lebih banyak kelompok di luar lingkaran negara—masing- masing mengusung agenda yang khas. Estafet zaman ini yang melatari kemunculan Forum Lenteng (2002) di Jakarta, Kineruku (2003) di Bandung, dan Festival Film Dokumenter (2002) di Yogyakarta.
Di Denpasar, ada Minikino—sebuah ruang menonton alternatif yang didirikan oleh Tintin Wulia, Kiki Zayin, dan Judith Goeritno pada 2002. Dengan rancangan programnya, Minikino tak hanya membawa film-film Indonesia, tapi juga film mancanegara bagi penonton di Denpasar. Kehadiran Minikino menjadi angin segar, baik bagi penonton dengan pola konsumsi film di Bali yang bioskop- sentris, maupun bagi para pembuat film yang mencari referensi yang kala itu aksesnya tak semasif hari ini. Salah satu yang turut merasakan dampak dari kehadiran Minikino adalah Nirartha Bas Diwangkara. Menurut salah satu pendiri komunitas Film Sarad ini, kehadiran Minikino memberi pengaruh penting terhadap spektrum kepenontonannya, yang turut berkontribusi dalam keputusannya menjadi pembuat film.
Pada awal kemunculannya, Minikino berperan layaknya ruang temu para pegiat film di Bali, khususnya Denpasar. Made Birus Suarbawa, Edo Wulia, dan Fransiska Prihadi selaku pengelola Minikino dalam sebuah kesempatan menuturkan bahwa Open December merupakan salah satu program paling strategis untuk mengumpulkan para pembuat film di Bali. Program ini mengundang para pembuat film untuk memutarkan serta mendiskusikan filmnya dengan penonton dan sesama pembuat film pada Desember tiap tahunnya. “Di Bali, salah satu hal yang masih langgeng adalah orang pasti akan datang ke pemutaran film, kalau yang diputar adalah filmnya sendiri atau film teman-temannya,” tutur Edo Wulia. Akhirnya para pembuat film yang semula berjalan dan berkarya sendiri- sendiri saling bertemu, berdiskusi dan bertukar pengetahuan di program Open December yang telah digelar sejak 2003 ini.
Kini, seiring dengan berkembangnya teknologi, pelaku film di Bali semakin berkembang dan beragam. Dalam hal produksi ada Studio Kitapoleng, EST Movie, Silur Barong, DENFILM Creative Supply, Luar Kotak Audiovisual, Niskala Studio, Mahatma Pictures, dan lainnya. Sementara untuk eksibisi dan apresiasi film ada Minikino Film Week, Denpasar Documentary Film Festival, Balinale Film Festival, Bali Makarya, dan Festival Seni Bali Jani (kompetisi film), Cinecoda, Cineclue Klungkung, Bioskopan, dan banyak lagi. Sementara di bidang arsip, selama tahun belakangan, Marlowe Bandem aktif melakukan diseminasi Arsip Bali 1928, film-film hasil repatriasi yang dikerjakan bersama ITB Stikom Bali, dan institusi arsip di beberapa negara.
Identitas masyarakat Bali tidaklah tunggal seperti yang umum direpresentasikan dalam karya-karya populer maupun publisitas pariwisata. Namun pariwisata pulalah yang memungkinkan Bali menjadi titik persimpangan dan pusar persilangan orang-orang yang datang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan belahan dunia. Mereka datang membawa pengetahuannya sendiri, lalu membagikannya dengan orang-orang yang ditemui di Bali. Begitu juga dengan orang-orang Bali yang merantau ke luar Bali untuk menempuh studi atau bekerja, lalu pulang kembali membawa identitas baru.
Di satu sisi, lalu lintas yang lekas ini membawa keberagaman dan corak baru pada karya-karya seni di Bali. Di lain sisi, ia cenderung mendorong dinamika ekosistem yang tidak ajeg dan mudah berganti, tergantung pada datang dan perginya orang-orang ini. Di bidang seni dan budaya, pertemuan lintas asal dan latar belakang ini umum ditemukan dalam skena seni dan kebudayaan non- tradisi atau kontemporer. Sehingga kita tidak bisa menggunakan identitas tunggal ketika mendefinisikan siapa pelaku film di Bali. Mau tidak mau semua hadir dengan hibriditas identitasnya masing-masing.
Pada awal 2000an, sekolah film hanya berpusat di kota-kota besar di pulau Jawa. Sehingga produksi film di kota-kota lain dilakukan secara otodidak oleh orang- orang yang tidak punya latar pendidikan film formal. Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sendiri baru membuka Program Studi Film dan Televisi pada 2013.
Erick Ebert Sabungan Tambunan—akrab dipanggil Erick Est—adalah salah satu pembuat film Bali yang belajar film secara otodidak. Sutradara berdarah Sumatera Utara yang memproduksi film di Bali sejak akhir 90-an ini memulai kariernya di Bali dengan membuat dokumentasi pertunjukan musik. Kekaryaan audiovisualnya kemudian berkembang, hingga akhirnya memproduksi film dan memenangkan penghargaan di 15/15 Film Festival, Australia. Beberapa film yang telah ia produksi misalnya _Jangga_n (2014) dan The Long Sa'an: The Journey Back (2015). Dibal Ranuh, sutradara asal Bali sekaligus salah satu pendiri Studio Kitapoleng yang fokus pada karya bergenre dance film juga berangkat dengan latar belakang desain grafis Universitas Trisakti.
Nirartha Bas Diwangkara yang berangkat dari latar belakang pariwisata menuturkan, selain melalui Minikino, sebagai orang yang mulanya belajar film secara otodidak, ia juga mendapat wawasan baru tentang film melalui acara- acara pemutaran keliling seperti pemutaran karya-karya film Eagle Award di Bali. Namun, pada saat bersamaan, perluasan jenis tontonan tidak dibarengi dengan adanya distribusi pengetahuan yang komprehensif tentang apa itu film, bagaimana cara membaut film yang baik, dokumenter itu seperti apa, atau bagaimana cara memakai perlatan produksi film. Sehingga akhirnya ia mendapat kesempatan untuk belajar film di sebuah community college di Amerika Serikat pada 2014.
Menyambung soal identitas hibrid pelaku pefilman di Bali, dalam konteks yang sama hal ini juga terjadi dalam demografi penonton film di Bali. Minikino yang telah beroperasi sebagai ruang pemutaran film selama dua dekade mengamini bahwa dalam program-program yang mereka gelar, ada banyak penonton yang merupakan orang-orang dari luar Bali yang sedang menempuh studi atau bekerja di Bali, yang datang karena merindukan ruang putar alternatif seperti yang ada di Jakarta, Bandung, atau Yogyakarta.
“Kalau kita hitung secara kasar, perbandingannya mungkin 60:40. Ratio 60 adalah penonton yang bukan orang Bali, 40 adalah penonton asal Bali. Dalam beberapa kesempatan mencapai 70:30.” ujar Fransiska Prihadi atau Cika, direktur program Minikino Film Week.
Beberapa tahun belakangan ini, khususnya ketika produksi audiovisual mulai marak di Bali, ada sebuah kesadaran kolektif yang terjadi di kalangan para pembuat film Bali, yaitu membuat rumah produksi dengan status badan usaha legal sesegera mungkin. Hal ini memungkinkan mereka untuk menerima permintaan produksi audiovisual yang lebih mengarah pada tujuan komersil.
I Dewa Made Febriantow Sukahet—akrab disapa Dodek—adalah salah satu mahasiswa program studi Film dan Televisi ISI Denpasar angkatan pertama. Ia mendirikan CV Luar Kotak Audiovisual, yang juga memiliki sanggar untuk memayungi kegiatan non komersial. Menurut Dodek, kesadaran untuk berdiri sebagai badan usaha kian menjadi kebutuhan utama bagi para pembuat film di Bali. Sebab untuk membuat karya-karya personal yang bermodalkan passion, mereka membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di satu sisi, mereka harus bertahan hidup, sebab mengerjakan film yang sepenuhnya karya personal tidak dapat dijadikan mata pencaharian. Akhirnya terbentuklah pola tambal sulam: mencari uang dengan mengerjakan proyek audiovisual seperti video pernikahan atau company profile, dan menyisihkan sebagian untuk produksi film pribadi.
Hal ini juga diamini Erick Est dan Dibal Ranuh. Bedanya, keduanya memberikan atasan yang tegas dalam menerima proyek komersial dengan tetap berupaya mempertahankan ciri khas bentuk audiovisual yang mereka miliki bahkan jika mengerjakan karya yang sifatnya promosi atau yang merupakan gagasan pihak lain. Sementara tim dari Film Sarad memiliki strategi yang lebih beragam. Menurut Nirartha, beberapa anggota tim Film Sarad memiliki badan usaha masing-masing yang menerima permintaan produksi audiovisual komersial, namun ia sendiri memilih untuk tidak menjadikan film sebagai mata pencaharian. Alih-alih, ia membangun usaha kuliner untuk menyambung hidup. Selain para pelaku produksi film, Minikino sebagai pegiat eksibisi dan apresiasi film juga merintis jasa film subtitling beberapa tahun belakangan ini untuk mendukung kerja-kerja mereka sebagai pengelola ruang, pemutaran, serta festival film.
Selain pola tambal sulam ini, menurut Dodek, kerja keroyokan masih menjadi modal utama ketika ia atau rekan-rekan alumni ISI Denpasar lain hendak membuat film personal. Film adalah karya yang membutuhkan banyak orang dan melibatkan banyak keahlian. Sayangnya, menurut Dodek, tidak banyak orang film yang menekuni beberapa keahlian yang dibutuhkan dalam kerja produksi film. Menurutnya, Bali masih kekurangan orang yang kompeten sebagai produser film, padahal produksi film sangat bergantung pada peran produser.
Kurangnya kepakaran di beberapa bidang ini mau tak mau membuat sebuah tim saling menyokong dengan mengambil peran berbeda-beda di tiap produksi. Hal ini diakui oleh Nirartha yang hampir seluruh tim Film Sarad diisi oleh sutradara. Maka jika seorang anggota akan memulai produksi, anggota lain akan mengisi pos-pos lain yang yang dibutuhkan, seperti produser, sinematografer, editor, dan sebagainya.
Tak hanya dalam hal struktural produksi film, para pelaku film di Bali juga membutuhkan tim yang paham manajerial dan administrasi. Ini adalah pekerjaan rumah yang panjang, sebab untuk mencari crew produksi saja kadang-kadang masih sulit. Terlebih belum semua rumah produksi dapat membayar para pekerja filmnya dengan layak secara reguler. “Menurutku kita perlu belajar banyak soal manajerial, karena cepat atau lambat kita harus bisa membayar diri kita sendiri dengan layak”, ujar Nirartha menanggapi pola gotong royong dan kesukarelawanan yang umum dilakukan dalam produksi film di Bali.
Sejak 2015, setelah selama 13 tahun menjadi ruang menonton, Minikino menggelar Minikino Film Week (MFW) – Bali International Short Film Festival. Menayangkan film pendek dari berbagai negara, festival gelaran Minikino menambah ragam kegiatan layar alternatif di Bali. Sebelumnya sudah ada Denpasar Documentary Film Festival (DDFF) yang digelar sejak 2010 dan Balinale – Bali International Film sejak 2007.
Ketiga festival ini memiliki karaktet, segmen, dan pendekatan penonton yang beragam. Minikino Film Week konsisten dengan membuka venue festival di beberapa titik di kota Denpasar, kabupaten Gianyar, Badung dan layar tancap di Bali Utara. Program layar tancap menjadi segmen yang menarik sebab mereka mendatangi desa-desa dan berkolaborasi dengan muda-mudi setempat untuk membuka layar menonton dengan publik yang mencapai ratusan orang. Program ini selain menjadi medium nostalgia bagi para penonton film era 80an, juga dapat dibaca sebagai perlakuan Minikino terhadap film yang diadaptasi dengan pendekatan menikmati seni tradisi yang guyub.
Denpasar Documentary Film Festival (DDFF) sebagai satu dari sedikit festival film dokumenter di Indonesia secara reguler memutarkan film-film pilihan dan membuka program lokakarya produksi dokumenter bagi pelajar di Bali. Menariknya, sejak sepanjang pelaksanaan program, DDFF selalu berhasil menjaring peserta dan menemukan potensi-potensi bari dari luar Denpasar.
Arsip Bali 1928 memberikan warna baru pada kegiatan arsip dan eksibisi film di Bali. Meskipun menurut Marlowe Bandem awalnya program ini tak diniatkan berfokus pada film, namun Arsip Bali 1928 menjadi pintu masuk untuk membaca ulang Bali melalui temuan-temuan gambar bergerak dari 1928 dan setelahnya. Cara Marlowe Bandem dan tim menyebarkan karya-karya hasil repatriasi ini juga menarik untuk ditelusuri. Mereka mendatangi pura-pura dan banjar-banjar. “Awalnya niatan kami adalah memutarkan film di lokasi di mana arsip gambar bergerak ini diambil. Misalnya ada arsip upacara Pengerebongan di Kesiman, maka kita putarkan di pura setempat. Tujuan awalnya untuk mendeteksi siapa- siapa saja orang yang ada di dalam arsip, apakah mereka masih hidup atau adakah sanak keluarga dari salah satu penonton yang hadir.”
Pada 2019, hadir MASH Denpasar—sebuah arthouse cinema yang didirikan oleh dua pengelola Minikino Film Week, Edo Wulia dan Fransiska Prihadi. Program- programnya hadir dengan beragam bentuk film dan tak jarang menghadirkan
film-film hasil kolaborasi dengan festival film dari negara lain. Sebelumnya, pada 2016-2019, ada pula Cinecoda—program pemutaran dan diskusi film yang awalnya digelar di Taman Baca Kesiman, sebuah perpustakaan independen di Denpasar. Bergeser sedikit ke timur, ada Cineclue Klungkung yang menayangkan film serta melakukan produksi film bersama anak-anak muda kabupaten Klungkung. Di utara Bali, ada Rumah Film Sang Karsa—ruang pemutaran film milik Putu Wijaya Kusuma, pembuat film asal Singaraja, Bali.
Kehadiran program studi Film dan Televisi di ISI Denpasar tentu saja memberi warna baru pada ekosistem perfilman di Bali. Seminimal-minimalnya adalah tiap tahun selalu ada produksi film dari Bali dan pemutaran film tugas akhir mahasiswa. Dodek, sebagai angkatan pertama, mengungkapkan ia dan teman-temannya selama kuliah aktif berjejaring baik dengan mahasiwa film dan komunitas film dari daerah lain. Hal ini berangkat dari kegelisahan karena minimnya pengetahuan film yang didapat di kampus, mengingat ketika itu program studi film dan televisi baru didirikan. Kegiatan berjejaring dengan berkunjung ke festival-festival seperti Jogja-NETPAC Asian Film Festival, Malang Film Festival, dan Sewon Screening memberi wawasan baru tentang karakter- karakter film Indonesia pada Dodek dan kawan-kawan. Membaca identitas karya dari kota lain membantu mereka untuk mengenal ulang identitas kekaryaan mereka sebagai pembuat film Bali.
Perihal distribusi, ada beberapa pembuat film yang juga membuat pemutaran film sendiri, baik dengan format undangan maupun terbuka untuk umum. Ada pula yang menyewa ruang bioskop dan menjual tiket dengan harga yang tidak jauh berbeda dari harga tiket regular bioskop. Jumlah pelakunya tak banyak dan kegiatannya belum tentu berkelanjutan, sehingga belum bisa dibaca sebagai pola. Memproduksi film saja sudah menguras banyak energi, apalagi harus mengurus pemutaran dan distribusi film sendiri.
Karya-karya pilihan kota
Film tidak lagi dapat diakses karena telah ditayangkan pada Apresiasi Film Indonesia periode tahun 2022.
© 2023 Apresiasi Film Indonesia. All Rights Reserved. Bekerjasama dengan Cinema Poetica dan Rangkai.