afi_logoafi_logo

Kota

Surabaya

Judul

Menerka Arah Film Surabaya

Penulis

Yogi Ishabib

Grafik Data
Surabaya

Film pernah menjadi penanda zaman di Surabaya. Seorang fotografer Perancis Bernama Louis Talbot membuat program pemutaran gambar bergerak pertama secara komersial pada Oktober 1896—atau hanya selisih sepuluh bulan sejak Lumière Bersaudara merilis pemutaran film komersial pertama di dunia pada 28 Desember 1895 di Perancis. Program pemutaran di Surabaya Theatre itu yang menjadikan Surabaya menjadi salah satu kota paling awal yang melaksanakan pemutaran gambar bergerak (gambar idoep) di Asia.

Program pemutaran gambar bergerak itu tak hanya mulai menggoyang kemapanan bisnis hiburan tradisional seperti ludruk, wayang, opera melayu, dan komedi stambul, tetapi juga mengurai rantai peristiwa mulai dari dibawanya teknologi pemutaran gambar ke Asia pada akhir abad ke-19 dan tumbuhnya minat orang-orang akan medium baru yang membuat aktivitas menonton gambar bergerak menjadi salah satu pilihan hiburan pada era kolonial. Merambat naiknya bisnis pemutaran di Surabaya mulai dari tenda kanvas, bambu (gedek), hingga gedung pemutaran yang mewah merangsang mobilitas penonton (spectators) dan memberi petunjuk kepada kita soal evolusi awal lanskap urban kota Surabaya.

Kultur menonton gambar bergerak merebak di seluruh Surabaya. Jelang setahun dari program pemutaran Talbot, seorang pengusaha Tionghoa yang tidak diketahui namanya membangun Gedung pemutaran bernama Kenotograph di Kapasan, wilayah pecinan di Surabaya Utara. Jika Surabaya Theatre hanya memperbolehkan warga Eropa dan elit pribumi, Kenotograph memperbolehkan siapa saja dengan berbagai macam latar belakang etnis dan kelas sosial untuk menonton dengan harga tiket separuh dari Surabaya Theatre. Selain praktik kolonial dan rasial, kehadiran film—danmenonton film bisa dianggit sebagai salah satu praktik sosial yang menajamkan polarisasi dan hadirnya ruang-ruang liminal di Surabaya.

Masa-masa kekosongan dan mulainya era komunitas film di Surabaya

Penelitian mengenai sejarah bioskop di Surabaya sudah ada dan bisa menjadi petunjuk bagaimana Surabaya sebagai sebuah kawasan berkembang karena, salah satunya, berdasarkan budaya menonton film. Tetapi jauh dari ingar bingar dan romantisme sejarah Surabaya saat kedatangan gambar bergerak sampai masa membludaknya bioskop, ada masa-masa kekosongan yang belum berhasil terungkap tentang bagaimana kondisi dan model produksi, distribusi, serta eksibisi film Surabaya mulai dari masa-masa awal film masuk di Surabaya pada era kolonial sampai tahun 2000-an. Masa kekosongan yang terlampau lama ini menyebabkan sulitnya memetakan ekosistem film di Surabaya.

Masa-masa kekosongan ini disebut oleh IGAK Satrya Wibawa, salah satu pendiri Independen Film Surabaya (INFIS) disebabkan karena sedari awal publik Surabaya menganggap bahwa menonton film adalah kebutuhan rekreasional, yang kebetulan pilihannya sangat beragam pada waktu itu, seperti gelaran olahraga (sepakbola, basket, dan balap motor), atau konser musik—yang mana film bukan merupakan pilihan utama.

Mungkin, gelombang film independen yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru baru bisa dijadikan pijakan untuk mengenal kembali ekosistem film di Surabaya, meskipun heroisme tentang bagaimana film-film independen yang muncul pasca Orba biasanya menawarkan wacana alternatif atas keterpusatan tidak tampak begitu menonjol di Surabaya. Alih-alih sebagai wacana alternatif, corak produksi awal film-film yang berkembang di Surabaya lebih banyak sebagai sebuah kegiatan klangenan semata.

Festival Film Surabaya (FFS) 2019

Festival Film Surabaya (FFS) 2019

Pada 2004 mulai muncul produksi film animasi pendek berlatar komedi lokal berjudul Suro dan Boyo diproduksi oleh Mohammad Sholikin alias Cak Ikin dari komunitas Gatotkaca. Serial animasi ini menampilkan humor yang penuh dengan pisuhan (umpatan lokal) sebagai respon atas problem sosial dan budaya di Surabaya. Cak Ikin mendapatkan perhatian lebih luas ketika diundang Boemboe Forum Jakarta dalam Forum Boemboe Forum Dua di Teater Utan Kayu pada 2005. Sezaman dengan Cak Ikin, Tosan Priyonggo dari komunitas Cazlorda juga memproduksi film pendek dan animasi seperti Topeng Kota (2004), Serem 3: Ting Tong (2005), Kimeru (2005), dan Kapit (2008). Karya-karya Tosan kebanyakan berupa animasi berlatar superhero kocak, dan sempat memenangkan Kuldesak Award untuk Hellofest Vol.4 pada 2007. Pada tahun-tahun tersebut, produksi film animasi pendek cukup mendominasi di Surabaya.

Setelah era film animasi pendek, proyek omnibus film CUKS (Cinta Untuk Kota Surabaya) yang diproduksi oleh beberapa sutradara dari berbagai komunitas film di Surabaya dirilis pada 14 Februari 2008 di bioskop Mitra 21 Surabaya. CUKS biasanya dianggit sebagai proyek produksi film pendek pertama di Surabaya pasca Orba. Selain diputar di bioskop, kisah-kisah roman picisan dan komedi di omnibus CUKS juga diputar di berbagai program pemutaran yang diinisiasi secara mandiri oleh komunitas film berbasis kampus yang berada di Surabaya.

CUKS itu semacam perayaan saja, seperti merayakan capain produksi dan teknis yang sudah lama tidak ada di Surabaya. Proyek omnibus ini dilakukan oleh sutradara-sutradara muda dari berbagai komunitas dan kampus di Surabaya,” tutur WImar Herdanto, sutradara yang turut menyumbang karyanya di dalam CUKS.

CUKS sepertinya membuka babak baru dalam skena produksi dan distribusi di Surabaya. Jika era film animasi pendek yang berkembang pada 2004 berdasarkan klangenan dan distribusinya memanfaatkan kompetisi festival dan media sosial (tahun-tahun pertama dirilisnya Facebook yang kemudian disusul oleh Youtube), CUKS lebih memanfaatkan komunitas film berbasis kampus yang pada saat itu mulai bermunculan.

Pengetahuan mengenai produksi dan distribusi film di Surabaya disemai melalui kampus-kampus yang menawarkan program studi maupun mata kuliah media, komunikasi, film, dan pertelevisian. Mulai 90-an sampai pertengahan 2000-an, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS) merupakan kampus pertama sekaligus satu-satunya yang memiliki alat editing film analog beserta teknisinya.

IGAK Satrya menuturkan bahwa film-film yang diproduksi pada era tersebut, hampir bisa dipastikan mengalami proses editing di STIKOSA-AWS. “Pada waktu itu, mahasiswa yang bikin film pasti editingnya di STIKOSA-AWS, honor editor waktu itu sekitar 150 ribuan. Awalnya begitu, tapi ketika sudah kenal dan saking seringnya meminta jasa dari orang yang sama, honor editing berubah jadi uang rokok,” ujarnya.

Film-film yang diproduksi pada tahun-tahun tersebut biasanya didistribusikan melalui bioskop mobil hasil menyewa mobil penerangan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kota Surabaya. Mobil penerangan BKKBN biasa disewakan untuk program pemutaran keliling dengan harga Rp 600.000/hari. Informasi ini, kata IGAK, didapatkan dari mata kuliah Komunikasi Pembangunan Universitas Airlangga yang kemudian disebarkan ke komunitaskomunitas film berbasis kampus di Surabaya.

“Biasanya yang diputar rata-rata film-film produksi 90-an akhir, dan tentu saja program pemutaran juga harus disertai dengan pemutaran film propaganda pemerintah karena fasilitasnya emang dapat dari pemerintah,” kata IGAK sambal tertawa mengingat masa-masa awal program pemutaran film di Surabaya yang justru dibantu oleh lembaga negara yang mengurus soal kependudukan dan

Independen Film Surabaya (INFIS) 2 2019

Independen Film Surabaya (INFIS) 2 2019

Dari skena produksi dan distribusi tersebut, ekosistem film di Surabaya mulai terbentuk secara gradual, Kinne Komunikasi UPN Veteran Jawa Timur muncul sebagai komunitas atau klub kajian film paling awal di Surabaya pada 1999. Selanjutnya disusul oleh kemunculan Sinematografi Unair pada 2002. Di luar komunitas film berbasis kampus, Independen Film Surabaya (INFIS) berdiri pada 2000. Pada masa-masa itu lah CUKS lahir, ketika persemaian bibit pengetahuan produksi dan distribusi film di Surabaya dimulai di kampus dan mulai menampakkan hasilnya melalui kemunculan komunitas-komunitas film.

Bersamaan dengan itu ekosistem film juga mulai tumbuh di kalangan pelajar dengan munculnya jurusan Produksi Film untuk sekolah kejuruan seperti yang terjadi di SMK Dr. Soetomo Surabaya, SMKN 12 Surabaya, dan jurusan Produksi Siaran Program Pertelevisian (PSPT) di SMKN 1 Surabaya. Menyusul kemudian ekskul film mulai bermunculan di sekolah-sekolah menengah atas. Tepat pada perkembangan awal ekosistem film pelajar di Surabaya, SMK Dr.Soetomo menginisiasi festival film pelajar yang dinamakan Festival Film Surabaya (FFS).

Festival Film Surabaya (FFS) memperkenalkan format festival yang menerapkan proses seleksi film, pemutaran, diskusi, serta kompetisi kepada publik Surabaya. Meski digagas untuk pelajar, keberadaan FFS bisa dijadikan petunjuk awal tentang bagaimana format festival film di Surabaya. Festival yang digelar tiap tiga tahunan itu rutin menerima sekitar 300-400an film pendek pelajar dari seluruh Indonesia. Selain festival, SMK Dr. Soetomo juga rutin membuat program jembatan menuju festival dengan membuat pemutaran tahunan bagi pelajar yang diberi tajuk Bulan Film Surabaya (BFS). Sol Amrida, pengajar Produksi Film SMK Dr. Soetomo yang juga menjadi juru program dan kurator untuk FFS dan BFS menyatakan bahwa program pemutaran yang dilakukan biasanya menyesuaikan dengan momen dan isu tertentu dalam satu atau dua tahun sebelumnya.

Ketika ekosistem film Surabaya sudah mulai terbentuk, corak produksi filmnya mulai tampak. Dari amatan Kukuh Karnanta, pengajar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga yang juga pengkaji film, tampak bahwa sebagian besar film yang diproduksi di Surabaya adalah film fiksi drama dan komedi. “Awal-awal berkembangnya film-film Surabaya yang diproduksi secara mandiri dan diputar di kampus atau di komunitas-komunitas, kita mengenalnya sebagai film indie, yang berkesan absurd dan secara peyoratif merujuk film yang susah dipahami oleh publik, atau kalau tidak ya film roman picisan atau komedi,” terang Kukuh yang tahun lalu mendapat penghargaan Karya Kritik Film FFI 2021.

Corak tersebut dapat dengan mudah ditemui, karena belum memadainya ekosistem film di Surabaya. “Komunitas atau kolektif film memang banyak, tapi yang menyertakan program pemutaran yang agak ‘serius’ atau workshop tentang kritik film, riset, mentoring produksi, pitching ide, pendanaan, manajemen produksi, tidak banyak. Dulu nonton film ya nonton saja, ya tidak salah, seringnya teman-teman sendiri yang bikin film, teman-teman sendiri yang nontonnya, jadi ekosistemnya tidak berkembang dengan baik,” lanjut Kukuh.

Masalah belum ‘mapannya’ ekosistem film di Surabaya juga coba diurai dari sudut pandang dari luar Surabaya. Irfan Akbar dari Gresik Movie menilai bahwa ‘komunitas lama’ atau ‘orang-orang lama’ yang berada di dalam komunitas film di Surabaya terlalu asyik dengan jejaring internalnya sendiri. “Dari perspektifku yang berada di luar Surabaya, aku melihat bahwa komunitas-komunitas film lawas di Surabaya asyik dengan lingkaran yang terlalu kecil, contoh paling gampang misalnya, ketika banyak program workshop, residensi, dan festival film ternama dihelat di kota-kota besar di luar Surabaya, aku tidak pernah sekalipun dengar nama mereka,” tutur Irfan.

Era ‘komunitas lama’ melahirkan kultur patron-klien, senior-junior, atau abangabangan—ngabers, di dalam skena film Surabaya. Era ini meromantisasi nyaris apapun terhadap capaian-capaian garib film Surabaya yang sebenarnya belum atau tidak pernah ke mana-mana. Kejenuhan itu memuncak ketika ekosistem film di Surabaya selanjutnya hanya dikenal sebagai kota untuk ‘bakar tiket’ menonton film dari Jakarta. Sejalan dengan era tersebut, corak produksi dan distribusi film juga tak kunjung mapan karena absennya apresiasi dan kritik yang memadai.

Bulan Film Surabaya (BFS) 2019

Bulan Film Surabaya (BFS) 2019

Kultur tersebut mulai berubah pada 2013-2020 ketika mulai bermunculannya komunitas film yang lahir secara organik di luar kampus yang anggotanya tidak sebatas hanya dari kampus, tetapi juga dari berbagai elemen. Komunitas Penonton mulai lahir dan menginisiasi program-program pemutaran secara berkala untuk publik yang lebih luas. Alih-alih hanya berkutat di persoalan teknis produksi film yang dibahas secara monokrom di Surabaya, Komunitas Penonton memulai dari tema-tema yang dekat dengan keseharian yang juga menyertakan masalah-masalah keseharian yang mesti dihadapi oleh orang-orang yang hidup di Surabaya. Pada tahun yang sama, merespon kemonotonan corak produksi film Surabaya, Gundah Gundala (Wimar Herdanto, 2013) mencuri perhatian publik karena menyajikan gaya tutur yang ringan dalam balutan kritik satir atas persoalan bonus demografi di Indonesia.

Era baru komunitas film di Surabaya lahir kembali dalam bentuknya yang lain. Masa-masa ini lahir karena semakin tingginya intensitas persinggungan dengan komunitas dari luar Surabaya dan mulai rajinnya anak-anak muda Surabaya mengikuti lokakarya film dan menyambangi berbagai festival film atau sekadar bertemu dengan komunitas-komunitas film, baik secara ‘formal’ melalui forum atau temu komunitas di gelaran festival maupun secara ‘informal’ dengan langsung melakukan kontak personal yang menjadi simpul-simpul di komunitas film di berbagai daerah.

Seturut perjalanan pada masa itu, komunitas-komunitas film yang terbentuk organik di Surabaya menjadi semakin beragam. Praktik komunikasi yang lebih luas, cair, egaliter, memungkinkan untuk saling bertukar pengalaman, pengetahuan, dan gagasan mengenai corak produksi dan eksibisi film inilah yang mendorong kelahiran komunitas-komunitas film baru tersebut.

Bulan Film Surabaya (BFS) 2019

Bulan Film Surabaya (BFS) 2019

“Di Surabaya, pada masa-masa berkembangnya komunitas film yang menawarkan pengalaman lain dari yang sudah-sudah, saya kira Sinema Intensif. Program-program yang mereka tawarkan berbeda dan lebih kompleks. Program pemutarannya tidak sekadar menonton saja, tapi juga mulai dipandu oleh programmer yang mengerti film dan konteksnya, adanya catatan program untuk penonton, ada workshop, baik untuk produksi maupun kritik, terus sebisa mungkin untuk menghidupkan ekosistem, program screening-nya berbayar, ini bagus untuk menjelaskan bahwa dalam ekosistem film sebagai salah satu industri kreatif membutuhkan dukungan dari publik. Jadi publik Surabaya seperti mendapatkan pengalaman lain dalam menonton film,” ujar Kukuh Karnanta ketika mencoba menjelaskan perkembangan corak eksibisi dan komunitas film di Surabaya.

Corak eksibisi seperti yang dilakukan oleh Sinema Intensif juga dilakukan oleh komunitas film yang juga lahir secara organik seperti Sekuens. Corak eksibisi Sinema Intensif dan Sekuens nyaris seperti anomali bagi publik Surabaya karena menyajikan pusparagam film, baik dari dalam maupun luar negeri, terutama film pendek, yang selama ini, mungkin, hanya diedarkan secara terbatas dan nyaris tidak mendapatkan tempat pemutaran di Surabaya. Karena saking melimpahnya produksi film pendek di Indonesia, Sinema Intensif berupaya untuk menginisiasi program eksibisi yang lebih luas jangkauannya dengan menginisiasi Festcil— Festival Kecil, festival film yang fokus kepada perkembangan film pendek di Indonesia.

Nah, pada era Sinema Intensif dan Festcil ini, publik Surabaya seperti mendapatkan kesempatan untuk menengok film-film pendek, para pelaku, serta jejaring komunitas film dari seluruh Indonesia. Peran Festcil terasa siginifikan karena publik Surabaya tidak lagi disodori romantisme film produksi Surabaya dan komunitas yang tidak pernah ke mana-mana itu, tapi keragaman dan kebaruan,” tegas Irfan.

Senada dengan Irfan, Kukuh Karnanta juga menyampaikan bahwa Sinema Intensif dan Festcil dianggap sebagai salah satu komunitas dan festival yang berhasil menghubungkan film dengan publiknya. Selain menyajikan pusparagam film pendek dalam negeri, Festcil juga menyajikan khazanah film Asia melalui program satelit bekerja sama dengan WaterTreeFilm—sebuah organisasi yang fokus pada literasi sinema, produksi, dan distribusi film. Selain itu komunikasi dan kolaborasi program dengan komunitas, rumah produksi, distributor, dan festival film dari luar Surabaya seperti Cinema Poetica, Kolektif, Buttonijo, Forum Lenteng, Festival Film Dokumenter, JAFF-Netpac, Gresik Movie, Malang Film Festival, Sinema Juang Aceh, Studio Batu, Studio Antelope, dll, mulai terbangun dengan baik.

Saat ekosistem film di Surabaya dibangun ulang berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan memanfaatkan jejaring film dari luar Surabaya, tema dan corak produksi film di Surabaya juga semakin beragam dan berani. Sapu Angin (Cahyo Wulan Prayogo, 2017), Bayang Bayan (Reno Surya, 2017), Mesin Tanah (Wimar Herdanto, 2016) menyoal perebutan ruang dan menjadi ‘Yang-Asing’ di kota urban. Sedangkan film hasil workshop Doc-Clinic dari Sinema Intensif dan Wisma Jerman berjudul Lantun Rakyat (Dwi Cahyo, 2019) yang menyoal praktik demokrasi elettoral- transaksional yang menghasilkan sampah visual di Indonesia berhasil menjadi nominasi Piala Citra FFI 2020 untuk kategori film pendek terbaik.

Sayangnya, kronik itu terputus karena pandemic Covid-19.

“Saya baru tahu kalau Sinema Intensif dan Festcil sudah tidak aktif pasca pandemi, mungkin ini adalah kritik paling mendasar tentang komunitas ya, tentang sustainability, regenerasi, dan skema pendanaan yang berkelanjutan. Pasca pandemi mungkin karena desakan ekonomi ya, jadi anggota-anggota komunitas mesti menyelamatkan ‘dapur’ dulu, pilihannya ya kerja professional, kalau komunitas ya mestinya dibuat badan hukumnya secara legal, ada unit usahanya, atau dibuat PH (production house) sekalian, jadi mungkin itu sekarang yang terjadi di Surabaya,” ujar Kukuh.

Semangat Membara, Minim Rencana
Independen Film Surabaya (INFIS) 2 2019

Independen Film Surabaya (INFIS) 2 2019

Mungkin, kasus di Surabaya tidak sama dengan ekosistem film di kota lainnya, tetapi hantaman pandemi covid-19 sepertinya langsung mengubah lanskap dan ekosistem film di Surabaya. Komunitas film di Surabaya yang biasanya menjalankan berbagai program secara swakelola sepertinya gagap dan tidak menyiapkan mitigasi ketika diharuskan mengambil keputusan yang mendesak dan mendadak karena pandemi. Larangan untuk berkumpul di saat pandemi membuyarkan program-program—terutama yang dilakukan secara luring dan melibatkan banyak orang—yang sudah disusun oleh beberapa komunitas film.

Berbagai siasat, adaptasi, dan strategi untuk menghadapi situasi tak menentu di tengah pandemi mesti dilakukan, beberapa program mulai dialihkan ke ruangruang virtual. Program-program pemutaran mulai dilakukan secara daring, demikian halnya dengan gelaran-gelaran festival film. Tetapi tetap saja energi dan kemampuan finansial yang harus dialokasikan berubah sebangun dengan kondisi semua sektor yang juga sama ambruknya. Meski format komunitas film di Surabaya berkembang ke arah yang menjanjikan, ada beberapa hal yang masih tampak lemah yaitu: regenerasi, pengelolaan organisasi, dan skema pendanaan yang baik.

“Relasi pentahelix yang melibatkan akademisi, industri, pelaku-komunitas, pemerintah, dan media secara sistematis dan berkelanjutan masih lemah di Surabaya. Dari kasus ini, tampaknya masalahnya bukan soal literasi dan kolaborasi, tapi resiliensi,” ujar Kukuh saat menjelaskan tumbangnya komunitaskomunitas film saat pandemi yang kemudian mengubah lanskap dan ekosistem film di Surabaya.

“Soal literasi, kawan-kawan yang lebih muda justru pengalaman dan pengetahuannya lebih banyak, sedangkan soal kolaborasi, kawan-kawan, baik itu di Surabaya atau dengan kota lain itu sudah sangat biasa untuk saling mengisi, entah itu soal kebutuhan sumber daya manusia, atau soal tukar teknologi dan alat. Hanya bagaimana dari sisi kapital yang belum mapan dan mungkin tidak seberani, Jakarta dan Yogya misalnya,” tambah Sol Amrida.

Seperti yang disampaikan oleh Kukuh sebelumnya, bahwa pandemi kemudian membuat para anggota komunitas mulai mengalihkan energinya untuk bertahan dan mengamankan kebutuhan domestik. Pilihan-pilihan rasional itu yang kemudian menyebabkan anggota-anggota komunitas film menyebar atau kembali ke kota asal untuk bekerja—entah masih berhubungan dengan film atau tidak. Tepat pada saat itu pula pilihan-pilihan rasional untuk membuat unit usaha dengan memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan di bidang film mulai dilakukan oleh anggota-anggota komunitas film untuk membuat rumah produksi yang membuat film atau konten-konten komersial lainnya.

“Di Surabaya, yang akhirnya jadi PH (production house) mungkin ya People Film, Kreasitama, Lintasinema, Surface, dan Hinterhov. Mungkin ada banyak juga, tapi ga muncul namanya. Era komunitas mungkin berlanjut atau bergeser bentuknya karena bagaimanapun, komunitas ya bentuknya kan cair, orang bisa keluar masuk seenaknya, bikin lalu bubar juga bisa seenaknya, bikin lagi, meskipun anggotanya bisa jadi orang-orang yang sama, begitu seterusnya,” terang Kukuh saat mencoba menjelaskan tentang pergeseran format komunitas film di Surabaya pasca pandemi.

Perubahan corak komunitas film di Surabaya menjadi rumah produksi, mungkin, merupakan kritik sekaligus jembatan yang mengentaskan kita atas bayangan kerja-kerja kreatif—dalam hal ini film—yang telanjur dibingkai dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman yang menyatakan bahwa komunitas film hanya sebatas sebagai pelaku ‘kegiatan perfilman’ atau penyelenggaraan perfilman yang berhubungan dengan film dan bersifat nonkomersial. Bahwa komunitas film tak mesti seperti bayangan negara: yang institusional, mandiri, militan, dan kuat bertahan seperti batu karang. Komunitas film, jika boleh sedikit berapologetik, selalu menempati ruang-ruang liminal yang berada di ambang atau ‘pada batas’ yang membangkitkan periode waktu atau ruang 'di antara'; bahwa ekosistem film bukan batu karang, tetapi lebih seperti gelombang—saling menyusul bergantian. Sah-sah saja sebuah komunitas film muncul, berkembang, dan melandai digantikan oleh (apapun bentuk dan corak) yang selanjutnya.


Karya-karya pilihan kota

Surabaya

Film tidak lagi dapat diakses karena telah ditayangkan pada Apresiasi Film Indonesia periode tahun 2022.

7-deadly-sins-thumbnail-masterBW
bapak-tidak-pulang-hari-ini-thumbnail-master
ora-katon-thumbnail-master
ronda-thumbnail-master

© 2023 Apresiasi Film Indonesia. All Rights Reserved. Bekerjasama dengan Cinema Poetica dan Rangkai.