afi_logoafi_logo

Kota

Purbalingga

Judul

Di Balik Langgengnya Film Purbalingga

Penulis

Muhammad Taufiqurrohman

Grafik Data
Purbalingga

Film Purbalingga menjadi bagian dari gelombang film-film independen yang tumbuh bagai jamur setelah Orde Baru tumbang. Khrisna Sen dalam Sinema dan Kuasa (2009) mengemukakan bahwa film Indonesia pada masa Orde Baru kental dengan ideologi developmentalisme yang mendorong urbanisasi besar-besaran, meminggirkan kehidupan desa, dan menjadikan kota sebagai pusat pembangunan. Seiring dengan kemajuan teknologi, pertumbuhan filmfilm independen yang terjadi di berbagai daerah menjadi media penyampai beragam wacana alternatif yang menandingi dominasi Jakarta sebagai pusat produksi wacana. Selama hampir dua dekade mengudara, film Purbalingga turut ambil bagian dalam kerja produksi wacana tanding tersebut. Buku Perlawanan Film-Film Banyumas terhadap Orde Baru (Taufiqurrohman dkk, 2021) menyebutkan bahwa film Banyumas Raya, termasuk film Purbalingga, banyak berkisah tentang kehidupan orang desa dan sarat kritik sosial terhadap dampak urbanisasi, kemiskinan di desa, praktik korupsi, kerusakan lingkungan hingga historiografi Orde Baru. Hal tersebut menunjukkan kekhasan film Purbalingga yang kental dengan kritik sosial terhadap dua warisan utama Orde Baru, yaitu developmentalisme dan militerisme. Tulisan ini berupaya merefleksikan apa yang membuat dunia perfilman Purbalingga berdaya dan bertahan.

Film Purbalingga tidak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan film di area Banyumas Raya. Sebagai informasi, Banyumas Raya meliputi lima kabupaten yakni Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, dan memiliki satu bahasa ibu yakni bahasa Panginyongan (atau dikenal sebagai bahasa Jawa Banyumasan). Berdasarkan arsip yang ditemukan sejauh ini, film pertama yang diproduksi di Banyumas Raya adalah Kepada Yang Terhormat: (Dimas Jayasrana, 2001) yang diproduksi di kota Purwokerto, ibukota kabupaten Banyumas. Film ini dibuat untuk merespon situasi politik di Jakarta terkait impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid dan berisi tentang aspirasi masyarakat bawah Banyumas, seperti pedagang kaki lima, pedagang dan petani, untuk pemerintahan nasional yang baru.

Geliat awal lahirnya perfilman Purwokerto tersebut disusul lahirnya perfilman Purbalingga dan Cilacap. Dari laman jkfb.wordpress.com (diakses 26 Agustus 2022), Jaringan Kerja Film Banyumas Raya (JKFB) dibentuk sebagai asosiasi komunitas film Banyumas Raya pada tahun 2006. Setahun kemudian JKFB resmi berbadan hukum Yayasan. JKFB kini memiliki beberapa anggota komunitas, antara lain Cinema Lovers Community (CLC) yang berbasis di Purbalingga, Sangkanparan dan Singgasana yang berbasis di Cilacap, Kedung Film yang berbasis di Kebumen dan ArtFilm Picture yang berbasis di Banjarnegara. Belakangan CLC Purbalingga mendirikan yayasan berbadan hukum sendiri bernama Gairah Sinema Muda, meskipun keberadaan JKFB masih dipertahankan. Bowo Leksono menyebutkan alasan yang melatarbelakangi keputusan CLC Purbalingga menjadi entitas legal, “sejak 2007 CLC Purbalingga sebagai pemegang hak legalitas JKFB masih berstatus komunitas. Tetapi mulai tahun ini (2022) CLC merasa perlu untuk dilegalkan agar pergerakannya lebih leluasa, sementara peran JKFB dikurangi.” Meskipun demikian, Bowo menegaskan, “JKFB sendiri tetap penting, baik ke dalam (Banyumas Raya) maupun ke luar, karena JKFB merupakan lembaga yang tercatat sebagai salah satu anggota di Badan Perfilman Indonesia.”

Komunitas-komunitas film di atas berperan sebagai pondasi yang mampu mengalasi pertumbuhan ekosistem perfilman di daerahnya masing-masing dengan corak dan dampak yang berbeda-beda pula. Dampak yang paling tampak adalah tumbuhnya ekosistem film pelajar. Bermula dari film-film pelajar Purbalingga hingga kemudian menyebar ke Cilacap, Banyumas, Kebumen dan Banjarnegara. Selanjutnya, komunitas-komunitas film pelajar yang berbasis kegiatan ekstrakurikuler sekolah (ekskul) tersebut menjadi soko guru dalam perfilman Banyumas Raya. Jejaring yang erat antara komunitas film yang tergabung dalam JKFB dan komunitas ekskul sekolah telah mampu menopang keberlanjutan perfilman di wilayah ini, tak terkecuali film Purbalingga. Pada umumnya, relasi JKFB dan ekskul film bersifat mentor-pelajar atau patron-klien. JKFB melakukan roadshow nonton dan diskusi film di sekolah-sekolah, lalu diikuti dengan lokakarya perfilman dan kegiatan mentoring produksi film, dari praproduksi hingga pasca-produksi.

Film Purbalingga yang pertama diproduksi adalah Orang Buta dan Penuntunnya (Bowo Leksono, 2004). Film ini merupakan adaptasi dari cerita pendek Ahmad Tohari, Mata yang Enak Dipandang, berkisah tentang kehidupan seorang buta bernama Mirta dan penuntunnya bernama Tarsa yang bekerja sama dalam mengemis uang dari para penderma di jalanan. Sejak itu, sineas Purbalingga tampak tidak pernah berhenti memproduksi film. Hampir tiap tahun, filmfilm diproduksi dan diapresiasi masyarakat. Dari arsip CLC Purbalingga, dapat diketahui bahwa sejak tahun 2004 hingga 2022, jumlah film Purbalingga telah mencapai 229 buah. Dengan rincian film fiksi berjumlah 126 buah dan film dokumenter 103 buah. Artinya, tiap tahun telah diproduksi rata-rata 12 buah film. Jumlah tersebut belum memasukkan karya audio-visual lain seperti Iklan Layanan Masyarakat (ILM), video klip dan karya para content creator yang belakangan ini menjamur di platform media sosial. Pada mulanya film-film tersebut didistribusikan secara terbatas di kalangan pegiat, pecinta film dan penyelenggara festival-festival film independen termasuk para juri. Seiring berjalannya Festival Film Purbalingga, film Purbalingga mendapatkan penonton terbesarnya dari rangkaian program pemutaran film, terutama program layar tanjleb atau misbar (gerimis bubar) yang diselenggarakan di desa-desa di Banyumas Raya.

Festival Film Purbalingga (FFP) yang diadakan oleh CLC Purbalingga dan JKFB memainkan peran yang sangat besar dalam keberlangsungan produksi film Purbalingga. FFP pertama kali dihelat tahun 2007 dengan nama Parade Film Purbalingga. Lalu pada tahun 2008 dan 2009 berubah menjadi Purbalingga Film Festival sebelum kemudian menjadi Festival Film Purbalingga pada tahun 2010 hingga memasuki pelaksanaan ke-16 pada tahun ini. Dengan program unggulan layar tanjleb atau misbar, FFP merupakan salah satu festival film dengan waktu pelaksanaan terpanjang (selama satu bulan penuh) di Indonesia. Dari laman festivalfilmpurbalingga.id (diakses 26 Agustus 2022), pelaksanaan festival selama sebulan penuh dimulai sejak tahun 2011, dengan program utama Kompetisi Film Pelajar (fiksi dan dokumenter) SMA se-Banyumas Raya dan program unggulan layar tenjleb. Selain itu, juga terdapat program workshop (penulisan skenario, pembuatan film, dan lain-lain), diskusi film, dialog kebudayaan, penghargaan dan sebagainya. Film-film yang ditayangkan dalam rangkaian program FFP tidak hanya film-film pelajar yang sedang berkompetisi tetapi juga film-film dari berbagai kota di Indonesia. Tak jarang, FFP memutar film-film yang memenangi ajang penghargaan nasional dan internasional.

Adapun jumlah film yang ditayangkan bervariasi dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, tahun ini program Kompetisi Film Pelajar Dokumenter diikuti lima film, sementara Kompetisi Film Pelajar Fiksi diikuti tujuh film. Selain itu, terdapat program Layar Klangenan dan program Rupa Indonesia yang masing-masing menayangkan lima film dari berbagai kota. Suasana perayaan sinema yang dihadirkan FFP selama satu bulan penuh tersebut menjadi ajang yang bertujuan, “untuk membangun budaya baru menonton film bagi masyarakat Purbalingga dan Banyumas Raya pada umumnya, serta sebagai ruang laboratorium pendidikan film sebagai media penyampai.” (festivalfilmpurbalingga.id, diakses 26 Agustus 2022).

Di tengah perfilman nasional yang dikepung pelaku industri dan dunia maya yang penuh dengan karya audio-visual yang relatif dibuat secara instan, apa resep dibalik sukses dan langgengnya produksi film Purbalingga?

Menggarap yang dekat: tema sosial

Salah satu resep utama langgengnya film Purbalingga adalah pilihan untuk mengangkat tema-tema sosial yang dekat dengan keseharian para sineasnya. Tema-tema seperti kemiskinan, urbanisasi, pengangguran, korupsi, perceraian, kerusakan lingkungan, korban '65, seolah menjadi stempel khas film Purbalingga. Tema-tema sosial tersebut diungkapkan melalui cerita-cerita yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari di sekitar mereka. Terutama, kehidupan masyarakat desa. Menggarap film dengan cerita-cerita yang dekat dengan keseharian membuat para sineas merasa lebih mudah dan nyaman, baik dalam proses riset, penulisan skenario, produksi hingga pasca produksi. Selain melalui tema, kedekatan itu juga diwujudkan dalam bentuk penggunaan bahasa Panginyongan sebagai bahasa tutur dalam film-film Purbalingga. Bowo Leksono, selaku mentor bagi para sineas muda Purbalingga, menuturkan, “penggunaan bahasa Panginyongan tidak hanya memudahkan dalam proses penyusunan cerita dan dialog tetapi juga memberikan kenyamanan tersendiri dalam proses produksi. Kedekatan dan kenyamanan tersebut pada gilirannya membuahkan konsistensi dalam produksi film.”

Dominasi tema-tema sosial yang melekat dalam film Purbalingga berakibat pada peminggiran tema-tema kehidupan remaja seperti pencarian jati diri dan eksistensi. Arsip dewan juri FFP tahun 2021 menunjukkan, “sebagian besar filmfilm Purbalingga yang berkompetisi di FFP, dari tahun ke tahun, mengungkap persoalan-persoalan sosial yang lekat dengan kehidupan orang dewasa dan minim sekali mengangkat tema-tema pencarian jati diri remaja. Padahal, FFP merupakan ajang kompetisi para sineas remaja pelajar.” Hal ini menunjukkan bahwa tema pencarian jati diri—sebuah tema yang seharusnya sangat dekat dengan kehidupan remaja—belum mendapatkan tempat dalam film Purbalingga. Bowo Leksono menuturkan, “salah satu penyebab belum banyaknya sineas Purbalingga yang menggarap tema tersebut adalah keterbatasan literasi dan referensi film yang dimiliki para sineas pelajar. Saat ini, literasi dan referensi film para pelajar Purbalingga masih sangat terbatas pada film-film Purbalingga terdahulu yang notabene berkiblat pada CLC Purbalingga dan JKFB. Dilihat dari sisi yang lain, hal tersebut juga menunjukkan keterbatasan yang dimiliki komunitas-komunitas film yang sudah matang dalam mengakomodasi kebutuhan referensi para sineas pemula.

Secara genealogis, film Purbalingga lahir dari generasi Bowo Leksono dengan Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga. Bowo Leksono memulai produksi film pada tahun 2004. Ia mantan aktivis 1998 dan mantan jurnalis harian ibukota Republika. Dengan sadar, ia menjadikan film sebagai bagian dari gerakan sosialpolitik. Sementara itu, generasi sineas yang lahir belakangan, terutama para sineas muda yang berasal dari komunitas pelajar, umumnya merupakan remaja desa yang masih minim literasi dan referensi film. Hal ini misalnya diungkapkan oleh sineas pelajar, Annisa Rahmasari, “tidak ada referensi lain yang saya tonton kecuali referensi-referensi film yang diberikan CLC Purbalingga dalam proses mentoring.” Dengan bekal semacam itu, tidak ada pilihan lain bagi para sineas pelajar tersebut kecuali mengikuti semacam karakteristik film Purbalingga yang khas yang telah distempelkan oleh film-film yang telah diproduksi di tahun-tahun sebelumnya. Mereka umumnya menjadikan karya-karya CLC Purbalingga dan film-film yang menang dalam FFP sebagai referensi utama mereka. Seperti yang diungkapkan Firman, sutradara muda Purbalingga, “Film-film CLC Purbalingga awal masih diputar di beberapa tempat. Hal tersebut menunjukkan pengaruh gaya CLC Purbalingga yang masih langgeng sampai sekarang.”

Dengan latar sosial semacam itu, para sineas pelajar Purbalingga perlu memperkaya hazanah literasi dan referensi film mereka dengan referensi lain di luar CLC Purbalingga dan FFP, terutama film-film yang menggarap kegelisahan eksistensial remaja. Dengan melakukan percobaan semacam itu, diharapkan lahir film-film dengan tema yang lebih dekat dengan kehidupan mereka sebagai remaja tanpa kehilangan kesadaran akan pentingnya tema-tema sosial dan lokalitas. Meminjam bahasa Firman, “sineas yang lebih muda, di luar CLC Purbalingga, sekarang lebih banyak menggarap tema yang lebih fresh karena bersifat non-kompetitif sehingga tidak harus menyesuaikan gaya atau standard film-film kompetisi. Biasanya mereka memilih berkarya dalam bentuk karya audio-visual yang ditayangkan di platform digital semacam Youtube.”

Menanggapi hal tersebut, Bowo Leksono meyebut literasi dan referensi film para pelajar masih menjadi kendala utama. Dalam proses brainstorming praproduksi, para pelajar pada umumnya belum mampu mengartikulasikan isu-isu personal yang mereka alami sehari-hari sehingga mereka menjadikan film-film yang diberikan CLC Purbalingga sebagai patokan mereka dalam memilih isu yang diangkat. Sebagaimana diungkapkan Firman bahwa film-film gaya CLC Pubalingga telah memancing dirinya untuk merefleksikan persoalan sosial di sekitarnya yang salah satunya terwujud dalam karyanya, Beras Bosok Kanggo Rakyat, yang terinspirasi dari fenomena bantuan beras busuk untuk masyarakat di sekitarnya.

Menciptakan regenerasi
Foto bts-Izinkan Saya Menikahinya-2BW

Foto bts-Izinkan Saya Menikahinya-2BW

Resep lain langgengnya film Purbalingga adalah regenerasi yang berkelanjutan. Firman Fajar Wiguna, sebagai salah satu sineas muda Purbalingga yang sedang bersinar, bercerita tentang pertemuan pertamanya dengan film Purbalingga. Saat itu di sekolahnya diadakan pemutaran film Purbalingga. Salah satu film yang diputar adalah Penderes dan Pengidep (Achmad Ulfi, 2014). Itulah film Purbalingga pertama yang ia tonton. Ia tak mengira bahwa peristiwa menonton film itu akan mempengaruhi jalan hidupnya hingga kini dalam menggeluti dunia perfilman. Ia mengungkapkan ketertarikan itu berasal dari ketakjubannya pada cerita dalam film itu: bagaimana hal-hal yang sehari-hari seperti kehidupan penderes (penyadap nira kelapa) dan pengidep (perangkai bulu mata palsu) dapat diungkapkan melalui media film. Begitu juga dengan tema-tema sosial lain dalam film Kado Suket (Puspa Juwita, 2010), Gugat Pegat (Laurelita Gita Prischa Maharani, 2015), dan lain-lain. Sesudahnya, ia juga takjub bagaimana filmfilm Purbalingga yang lain, seperti Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal! (Ilman Nafai, 2016) dan Izinkan Saya Menikahinya (Raeza Raenaldy Sutrimo, 2016) mampu membawanya untuk berempati memasuki dunia batin para orang sepuh korban peristiwa 1965. Film-film tersebut memberinya suatu perangkat baru dalam melihat dunia dan lantas berkecimpung lebih jauh ke dalam perfilman Purbalingga.

Sejak peristiwa menonton itu, Firman tahu ia telah jatuh cinta pada film. Ia kemudian bergabung dalam ekskul Brankas Film SMA 2 Purbalingga, dimana ia terlibat secara intens di dalamnya. Sampai saat ini, ia telah terlibat dalam lima produksi film, antara lain Babaran (2017), Beras Bosok Kanggo Rakyat (2017), Sum (2018), Sinau Bareng (2018), Bulu Mata Kaki (2019) dan Delivery Buku (2019).

Film Sum (2017) menjadi film yang melambungkan namanya sebagai sutradara muda dengan berbagai penghargaan yang telah diterima, antara lain Dokumenter Pelajar Terbaik Festival Film Purbalingga 2018, Dokumenter Pelajar Terbaik Sodoc Film Festival 2018, Dokumenter Pelajar Favorit Penonton Sodoc Film Festival 2018, Dokumenter Pelajar Terbaik Ucifest 2018, dan Dokumenter Pelajar Terbaik Mafifest 2019. Film tersebut bercerita tentang nenek Sum, seorang perempuan bekas anggota Barisan Tani Indonesia (BTI), yang pernah menjadi tahanan politik Orde Baru selama tiga belas tahun tanpa pengadilan. Dalam masa tuanya, nenek Sum hidup sebatang kara karena dijauhi oleh keluarga dan masyarakat. Firman bercerita tentang bagaimana film-film berlatar peristiwa 1965 yang ditontonnya telah mempengaruhi perspektifnya terkait tragedi kemanusiaan tersebut. Baginya film-film tersebut telah membangkitkan rasa kemanusiaan berupa empati kepada para korban '65 yang masih mengalami stigmatisasi negatif di masyarakat dan kerap masih dikucilkan. Rasa kemanusiaan itu menggerakkannya untuk melakukan riset tentang mantan tahanan politik '65. Sebelum memulai proses produksi film Sum, ia telah melakukan riset selama kurang lebih satu tahun. Selama satu tahun itu, ia berhubungan secara erat dengan Sekretariat Bersama (Sekber) '65 yang merupakan paguyuban eks tapol '65 di Kabupaten Purbalingga. Melalui paguyuban ini, Firman dapat melakukan pendekatan terhadap subyek filmnya, Mbah Sum, dengan lebih mendalam. Proses yang kurang lebih sama juga terjadi dalam pengalaman Annisa Rahmasari dalam memproduksi film dokumenter bertema '65, Kesaksian Darsan (2022), dimana Sekber '65 dan juga guru pembimbing ekskul film memainkan peran yang sangat penting dalam mendampingi para siswa dalam melakukan pendekatan terhadap subyek film, Mbah Darsan.

Tentu saja faktor Bowo Leksono dan CLC Purbalingga memainkan peran yang signifikan sebagai penghubung para sineas pelajar dengan Sekber 65. Sebagai informasi, Bowo Leksono merupakan pegiat senior dalam komunitas Gusdurian Purbalingga yang selama ini cukup aktif menyuarakan keadilan hukum bagi para penyintas '65. Keberpihakan Bowo Leksono pada para penyintas 65 tersebut tidak hanya diwujudkan dalam beberapa produksi film berlatar '65 tetapi juga berupa kegiatan eksibisi film-film berlatar '65. Patut dicatat, dalam pelaksanaan FFP 2016, CLC Purbalingga memutar film Pulau Buru Tanah Air Beta (Rahung Nasution, 2016) kendati mendapatkan penolakan dari sekelompok masyarakat yang menamakan diri Aksi Cinta Damai Pancasila.

Seperti halnya Firman yang memproduksi film Sum setelah menonton Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!, Annisa Rahmasari dan tim Kafiana Production SMK YPLP Purbalingga memproduksi film Kesaksian Darsan (2022) setelah menonton film Sum. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan eksibisi atau menonton film merupakan bagian penting dari proses regenerasi perfilman Purbalingga. Di samping sebagai upaya meningkatkan literasi perfilman, kegiatan eksibisi juga berfungsi sebagai sarana untuk memperkenalkan film-film Purbalingga. Secara lebih spesifik, eksibisi bertujuan untuk memperkenalkan terutama film-film yang pernah menang dalam ajang tahunan FFP. Hal ini seperti disampaikan oleh Anggi Widyasari, guru pendamping ekskul film SMK YPLP Purbalingga, “melalui nonton film para siswa dapat mengetahui film-film seperti apa yang mendapatkan nominasi dan menang dalam ajang festival”. Di antara deretan film yang memenangi berbagai ajang festival, termasuk FFP, adalah film-film berlatar isu '65, seperti film Sum, Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!, dan Izinkan Saya Menikahinya. Oleh karena itu, pihaknya selaku pendamping dan pihak sekolah mendukung penuh para sineas pelajar SMK YPLP yang mengangkat cerita berlatar peristiwa 1965 dalam film dokumenter yang diproduksi tahun ini. Selain bertema '65, film-film lain yang kerap menjadi favorit dan menang dalam ajang FFP adalah film-film yang bertema kritik sosial melalui cerita kehidupan orang-orang desa.

Terkait dengan eksibisi dan pemilihan tema-tema film tersebut, Bowo Leksono menambahkan bahwa para pelajar tidak hanya diberikan tontonan berupa filmfilm yang bagus, tetapi juga film-film yang dianggap buruk menurut standard CLC Purbalingga agar para pelajar tahu dan memiliki gambaran film semacam apa yang akan mereka produksi.

Pentingnya eksibisi dalam proses regenerasi pegiat film juga diakui oleh Mufidatul Lailiy, guru pendamping ekskul film SMK Darul Abror Purbalingga. Dalam konteks SMK Darul Abror yang merupakan bagian integral dari pondok pesantren, pihak sekolah merasa perlu untuk meningkatkan kegiatan eksibisi mengingat para pelajar masih harus membagi waktu antara jadwal belajar formal di sekolah dan mengaji kitab-kitab kuning selepas sekolah. Selain itu, juga terdapat pembatasan untuk mengakses internet karena semua siswa yang notabene santri dilarang membawa handphone. Penggunaan handphone hanya diperkenankan bagi siswa yang sedang terlibat dalam proses produksi film dengan tujuan berkoordinasi. Meskipun terdapat keterbatasan, kegiatan eksibisi dan peningkatan literasi film harus terus diupayakan. Mufidatul Lailiy menambahkan “penumbuhan literasi film ini juga harus beriringan dengan penumbuhan literasi bacaan buku karena bagaimanapun proses membuat film merupakan bagian dari kegiatan intelektual yang mensyaratkan pengetahuan yang luas.”

Dengan beberapa keterbatasan ala pesantren di atas, para siswa SMK Darul Abror masih aktif dan bersemangat dalam memproduksi film. Terbukti ekskul film diminati oleh pelajar putra maupun putri. Pada FFP tahun ini, ekskul film SMK Darul Abror berhasil mengirimkan satu film fiksi yang disutradarai pelajar laki-laki dan satu film dokumenter yang disutradarai pelajar perempuan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pelajar putra maupun putri memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sineas film di sekolah yang berbasis pesantren tersebut. Hal ini juga sekaligus menunjukkan bahwa proses regenerasi film Purbalingga masih cukup menjanjikan, jika dilihat dari mulai diliriknya kegiatan perfilman sebagai ekstrakurikuler di sekolah berbasis pesantren.

Dari sini kita bisa melihat bagaimana proses eksibisi, harapan menjadi juara dan pemilihan tema film saling berkelindan dalam proses regenerasi perfilman Purbalingga. Dalam proses tersebut, CLC Purbalingga dan JKFB dengan FFP-nya merupakan kurator perfilman Purbalingga yang menetapkan standard tertentu tentang baik buruknya film Purbalingga. Meskipun juga harus dicatat bahwa dalam proses penjurian FFP, CLC Purbalingga tidak terlibat sebagai anggota dewan juri. CLC Purbalingga sebagai penyelenggara memilih dan mengundang juri-juri film, baik fiksi maupun dokumenter, yang berasal dari kalangan akademisi, pegiat film (sutradara, penulis skenario), kritikus film, jurnalis, aktivis sosial, dan tokoh masyarakat.

Dari keseluruhan proses tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa regenerasi bukanlah buah yang tiba-tiba jatuh dari langit tetapi merupakan suatu hasil rekayasa sosial tertentu yang diciptakan oleh para pegiat film Purbalingga, terutama CLC Purbalingga dan JKFB yang didukung oleh para guru pendamping ekskul film dan para sineas pelajar film. Regenerasi dihasilkan dari proses mentoring yang lebih militan yang mampu membentuk karakter film yang khas. Hal tersebut dimungkinkan karena pelajar cenderung mudah untuk diarahkan dan dibentuk sesuai standard CLC Purbalingga selaku mentor karena bak kertas kosong mereka belum memiliki referensi film yang lebih variatif.

Menghidupkan jejaring
2019_CLC Purbalingga_Festival Film Purbalingga

2019_CLC Purbalingga_Festival Film Purbalingga

Resep terakhir yang tak kalah penting adalah merawat dan menghidupkan jejaring. Bowo Leksono menuturkan bagaimana awal mula CLC Purbalingga dan JKFB akhirnya memilih menekuni pendampingan produksi film pelajar Purbalingga. Tidak lain karena para pelajar sekolah merupakan pihak yang paling memungkinkan untuk diajak berkolaborasi. Pada saat CLC Purbalingga memulai FFP pertama tahun 2007, belum ada perguruan tinggi di Purbalingga. Sementara jika harus berkolaborasi dengan mahasiswa, memerlukan tenaga ekstra karena harus bolak balik ke Purwokerto dimana terdapat banyak kampus, seperti Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Universitas Muhammaadiyah Purwokerto (UMP), UIN (dulu STAIN Purwokerto), Institut Teknologi Telkom (ITT), dan lain-lain. Pada awalnya Bowo Leksono kerap mondar-mandir antara Purbalingga-Purwokerto untuk membangun komunitas perfilman tetapi kemudian akhirnya memutuskan untuk berfokus di Purbalingga dengan menggarap para pelajar. Bowo Leksono menuturkan, “kendati jumlah sekolah (ekskul film) yang aktif dalam produksi film tidak ajeg tiap tahunnya, tetapi ratarata terdapat sekitar lima belas sekolah yang aktif berproduksi.”

Dalam perkembangannya, terdapat dinamika dalam perfilman Purbalingga terkait dengan keaktifan komunitas film. Terdapat masa ketika komunitas film pelajar yang sangat aktif dalam perfilman Purbalingga berasal dari ekskul film Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini terjadi pada masa awal-awal perkembangan film pelajar Purbalingga. Namun, pada masa yang lain, seperti beberapa tahun belakangan ini, ekskul film dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) lebih aktif dalam memproduksi film. Keaktifan para pelajar SMK tersebut juga tidak terlepas dari kemunculan jurusan Multimedia Desain Komunikasi Visual (DKV) di sekolah mereka. Dengan adanya jurusan Multimedia, sekolah menyediakan fasilitasfasilitas yang diperlukan untuk produksi film, seperti kamera, komputer, dan lainlain.

Meskipun demikian, ada sejumlah tantangan. Pertama, peralatan film yang tersedia di sekolah tidak selalu memadai. Pihak sekolah biasanya bekerja sama dengan CLC Purbalingga dan JKFB dalam bentuk peminjaman peralatan yang lebih canggih dan profesional. Selain peminjaman alat, pihak sekolah juga bekerja sama dengan komunitas film di luar sekolah sejak dalam tahap lokakarya, pendampingan riset, produksi hingga pasca produksi. Hal ini dikarenakan pihak sekolah masih memiliki keterbatasan untuk melakukan pendampingan secara mandiri. Hal ini seperti diungkapkan oleh Kurniawan Heri S, Kepala Sekolah SMK YPLP Purbalingga, yang menyatakan pihaknya masih membutuhkan kerja sama dengan CLC Purbalingga karena masih memiliki keterbatasan dalam melakukan pendampingan secara mandiri. Hal senada juga diungkapkan Mufidatul Laily selaku pendamping ekskul film di SMK Darul Abror yang juga bekerja sama dengan CLC Purbalingga. Kedua, proses regenerasi di dalam perfilman pelajar masih sangat mengandalkan kekuatan figur dalam satu angkatan. Walhasil, jika tidak ada figur siswa yang menonjol dan memiliki semangat tinggi dalam produksi dalam sebuah angkatan berakibat pada tidak adanya produksi di tahun itu. Mufidatul Lailiy mengungkapkan tantangan tersebut, “siswa yang aktif biasanya merangkap menjadi sutradara, produser dan lain-lain. Siswa yang aktif, aktif banget. Yang tidak aktif, bantu-bantu saja.” Pendamping sekolah biasanya memberikan apresiasi kepada para sineas pelajar yang aktif berupa nilai A atau A plus dalam mata pelajaran multimedia.

Selain bekerja sama dengan jejaring perfilman pelajar di Purbalingga, CLC Purbalingga dan JKFB juga bekerja sama dengan berbagai pihak terutama dalam pelaksanaan FFP. Mulai dari pelaksanaan layar tanjleb yang biasanya dilaksanakan di kurang lebih lima belas titik desa di lima kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap dan Kebumen. Dengan pembagian, masingmasing kabupaten rata-rata mendapat tiga titik. Di setiap titik, CLC Purbalingga bekerja sama dengan pemerintah desa dan karang taruna setempat. Dari segi pendanaan, untuk waktu yang lama sejak tahun 2007 hingga 2015, FFP didanai secara swadaya oleh CLC Purbalingga dan JKFB. Sejak tahun 2016, pemerintah daerah memberikan bantuan lima puluh juta rupiah dalam pelaksanaan FFP.

Selain bekerja sama dengan berbagai kalangan dari masyarakat sipil, para pegiat komunitas film Purbalingga kini juga mendapatkan dukungan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Dalam penuturan Kurniawan Hery S., pihak sekolahnya pernah mendapatkan hibah berupa peralatan film senilai seratus juta rupiah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm) sebagai bentuk apresiasi atas prestasi sekolah dalam bidang film. Selain itu, pemerintah pusat melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) telah menghibahkan gedung bioskop Misbar di komplek Usman Janatin kepada CLC Purbalingga dan pemerintah daerah. Di tingkat lokal, selain bantuan yang telah disebutkan di atas, pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memberikan dukungan dalam pelaksanaan FFP dalam bentuk perizinan penyelenggaraan beberapa program festival di komplek pendopo kabupaten. Tri Gunawan, selaku Plt. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Purbalingga mengungkapkan, “pemerintah daerah, melalui Bupati, mensupport betul perkembangan perfilman Purbalingga, khususnya perfilman pelajar.

Dukungan tersebut diwujudkan dalam bantuan dana lima puluh juta rupiah untuk pelaksanaan FFP. Selain itu, juga mengizinkan Graha Adiguna Operation Room di komplek pendopo sebagai salah satu tempat penyelenggaraan program festival.” Di pihak yang lain, Bowo Leksono membenarkan dan mengapresiasi dukungan pemerintah daerah tersebut, termasuk terkait bantuan dana untuk FFP. Namun demikian, Bowo Leksono juga menyebutkan bahwa jumlah bantuan lima puluh juta tersebut masih terhitung kecil. “Untuk ukuran FFP yang dilaksanakan selama satu bulan penuh, masih terhitung kecil jika dibandingkan dengan dana bantuan sebesar dua ratus juta yang dianggarkan pemda untuk festival-festival lain yang hanya dilaksanakan sehari atau dua hari.”, tutur Bowo Leksono.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilihan tema film yang dekat dengan keseharian, regenerasi berkelanjutan, dan dukungan jejaring merupakan tiga resep kunci di balik sukses dan langgengnya perfilman Purbalingga. Namun demikian, masih terdapat beberapa hal yang belum tergarap secara maksimal dalam konteks pengembangan perfilman Purbalingga. Bowo Leksono menyebutkan di antaranya belum optimalnya pendayagunaan jejaring alumni film pelajar yang sampai tahun ini sudah mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan. Selain itu, belum hidupnya komunitas film kampus meskipun saat ini sudah berdiri beberapa perguruan tinggi di Purbalingga dan belum tergarapnya corak produksi audio-visual baru di luar film. Dari pihak sekolah, Kurniawan Hery S menyebutkan minimnya alumni yang terjun ke dunia perfilman, baik melanjutkan kuliah film ataupun berprofesi di dunia film, masih menjadi pekerjaan rumah bagi sekolah.

Perjalanan komunitas film Purbalingga selama hampir dua dekade menunjukkan bahwa film bisa hidup dan tumbuh subur di kota kecil. Dengan segala upaya komunitas film Purbalingga, mulai dari CLC Purbalingga, JKFB, ekskul film, guru pendamping hingga kepala sekolah— untuk menjangkau khalayak seluas-luasnya, Purbalingga sebagai contoh sukses dari 'perluasan partisipasi masyarakat dalam ekosistem perfilman', suatu hal yang kerap disuarakan berbagai pemegang kepentingan perfilman, tetapi tidak pernah tampak benarbenar dikerjakan.


Karya-karya pilihan kota

Purbalingga

Film tidak lagi dapat diakses karena telah ditayangkan pada Apresiasi Film Indonesia periode tahun 2022.

gugat-pegat-thumbnail-masterBW
izinkan-saya-menikahinya-thumbnail-masterBW
kami-hanya-menjalankan-perintah-jenderal-thumbnail-masterBW

© 2023 Apresiasi Film Indonesia. All Rights Reserved. Bekerjasama dengan Cinema Poetica dan Rangkai.