Layar-layar kapal ramai terkembang berabad-abad lalu di laut Makassar. Semasa Sultan Hasanuddin menjabat sebagai Raja Gowa ke-16, ia memiliki satu tokoh Panglima Angkatan Laut yang begitu ditakuti yakni Karaeng Bontomarannu. Kepingan cerita tentang Karaeng Bontomarannu yang pernah memimpin penyerangan ke Buton, sebanyak 700 buah kapal dan 20.000 prajurit ia kerahkan untuk menyerang Kerajaan Buton yang saat itu berafiliasi dengan Belanda. Fragmen kisah Karaeng Bontomarannu tersebut masih terus hidup dalam memori kolektif masyarakat Makassar.
Kini layar-layar yang terbentang adalah layar-layar gambar bergerak. Sinema beserta sineasnya tumbuh beriringan setiap tahun di Makassar. Kawan-kawan sineas Makassar punya besar kepercayaan diri dalam berkarya membuat film. Jika dahulu mencari pengetahuan seputar produksi atau jejaring yang bisa mempertemukan film dan penontonnya harus menginjakkan kaki di Jakarta, saat ini pada konteks berkarya Jakarta tidak dilihat sebagai kota yang perlu ditaklukkan. Lantas bagaimana geliat sinema di kota ini terbentuk dan sudah sejauh manakah layar sinema film Makassar berlayar?
Institusi pendidikan turut berperan penting dalam terbentuknya ekosistem film di Makassar. Kehadiran program studi Film, TV & Media, dan Ilmu Komunikasi menuntut mahasiswanya berkenalan dengan pembuatan film maupun media audio visual lainnya. Kampus-kampus yang terhitung memiliki program studi tersebut antara lain adalah Universitas Hasanuddin, Institut Kesenian Makassar, Universitas Fajar, Polimedia, dan Institut Kesenian Budaya Indonesia Sulawesi Selatan. Masing-masing mahasiswa di sana membangun ruang, wacana, dan bentuk film. Di samping itu, program workshop yang dibuat mulai dari elemen komunitas hingga pemerintah daerah menyasar mahasiswa dan para sineas, begitu juga pemutaran, dan perhatian pemerintah daerah membuat festival film turut membangun ekositem perfilman Makassar. Realitas inilah yang meramaikan gulungan ombak perfilman di Makassar sejak 2012 hingga saat ini.
Semula, gerakan sinema independen mahasiswa ditunjang oleh ketersediaan ruang. Salah satu contoh adalah KIFO KOSMIK UH (Klub Kine & Fotografi Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin). Berdiri pada 9 November 1988, KIFO KOSMIK UH adalah lembaga perfilman mahasiswa yang tertua di Makassar. Lembaga mahasiswa lainnya seperti Liga Film Mahasiswa Universitas Hasanuddin (1993), IMSi (Ikatan Mahasiswa Sinematografi), Polimedia, dan Frame Unifa (Universitas Fajar) juga hadir dalam gerakan sinema independen mahasiswa. Hingga hari ini organisasi-organisasi tersebut masih aktif.
Laku kolektif di Institut Kesenian Makassar (IKM) agak berbeda. Bila gerakan sinema di kampus-kampus lain terbantu dengan keberadaan lembaga, maka di IKM ditopang oleh keberadaan program studi TV dan Film yang sudah ada sejak kampus ini berdiri tahun 2008. Hambatan seperti alat dan dana untuk memproduksi film tugas bisa dengan baik ditaktisi, misalnya stik boom yang dibuat dari batang sapu atau pipa air. Semangat berkarya ini datang dari rasa ingin tahu yang bertalu-talu sehingga membentuk mereka menjadi mandiri. Dua film yang diproduksi Meditatif Film bersama dengan melibatkan mahasiswamahasiswa IKM, Memburu Harimau dan Jejak-jejak Kecil, mendapat apresiasi baik dari masyarakat.
Tahun 2012 film Memburu Harimau, sutradara Arman Dewarti, diputar dengan swadaya. Gedung Kesenian Sulsel Societet de Harmonie dipilih menjadi tempat pemutaran. Gedung didekor seperti layaknya bioskop dengan menginstalasi sistem suara di bagian kiri, kanan, dan belakang penonton. Pemutaran dilakukan selama enam hari dan mendulang sekitar 6.000 penonton. Banyak penonton tidak percaya film itu dibuat oleh orang-orang Makassar. Sementara itu di tahun yang sama, Jejak-jejak Kecil yang digarap oleh mahasiswa IKM berkerja sama dengan Dinas Pariwisata Kota Makassar diproduksi dalam bentuk DVD dan sebanyak 2.500 keping habis terjual.
Siklus perfilman Makassar semakin ramai berkat kesadaran berbagi pengetahuan ƒdan tumbuh bersama. Berpijak dari dua kesadaran tersebut, pada tahun 2008, kurang lebih 20 kelompok film menggagas pembentukan Forum Film (FOR FILM). Program pertama FOR Film Makassar tahun 2009 adalah membuat Antologi Film Pendek. Terdapat 6 film yang termuat dalam antologi (4 film fiksi dan 2 dokumenter). Untuk memutar keenam film itu, FOR FILM membuat pemutaran di Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie selama tiga hari. Penonton berdatangan dari kalangan mahasiswa, pelajar, sampai masyarakat umum. Selama program pemutaran ini berlangsung, pentonton datang dan membeli tiket. Film Cinta Sama dengan Cindolo na Tape (2009), sutradara Rusmin Nuryadin, menjadi film yang paling banyak ditonton saat itu.
FOR Film kembali menggagas sebuah produksi film, kali ini film panjang yang berjudul Aliguka pada tahun 2010. Seluruh produksi film ini dikerjakan oleh sineas Makassar. Pemutaran perdana film tersebut dibuat saat itu di Gedung Graha Pena untuk menonton gala premier film Aliguka. Setelah itu, film ini berkeliling di layarlayar kampus juga beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Penayangan film Aliguka dibuat berbayar dengan tiket seharga Rp10.000. Terdata sekitar 2.000 penonton yang mengapresiasi film ini.
Fenomena IKM dan FOR Film punya pengaruh terhadap keberlangsungan produksi film-film di Makassar selanjutnya. Film-film panjang berikutnya seperti Bombe' (2014), Bombe' Dua: Dumba'-dumba' (2016), Sumiati (2015) produksi Art2 Tonic, dan Uang Panai' (2016) produksi Finisia mulai bermunculan di layar-layar bioskop Indonesia dan terkhusus di Makassar. Keempat film tersebut cukup artikulatif untuk menjawab tantangan pasar penonton bioskop pada masa itu yang masih banyak dihuni oleh film-film produksi Jakarta. Tidak berlebihan kiranya, jika animo penonton saat itu berangkat dari rasabangga bahwa film produksi Makassar juga bisa tampil di jaringan bioskop reguler.
Faktor lain yang memengaruhi antusiasme penonton adalah kerap kali label “film Makassar” melekat ketika membicarakan perkembangan film di kota ini. Pandangan cukup cair diutarakan Rachmat Mustamin, sutradara, “Kalau saya, sekarang sudah tidak ada term film Makassar di kepalaku. Yang ada, film yang diproduksi di Makassar karena kru-krunya bisa jadi orang di luar Makassar. Sekarang sistemnya sangat dinamis. Jadi term film Makassar itu didesain untuk kebutuhan marketing saja. Tetapi itu jadi jualan yang betul.”
Dalam kurun waktu 2017-2019 terdapat 5 film panjang yang tampil di bioskop, Parakang Manusia Jadi-jadiaan (Artalenta Media Sinema, 2017), Maipa Deapati & Datu' Museng (Art2tonic, Paramedia Indonesia, dan Sai Rama Entertaiment, 2018), Baco Becce (Pandawa 5 Bersaudara, Art2tonic, dan Paramedia, 2018), Halo Makassar (Finisia, 2018) dan Ati Raja (786 Productions dan P2TM, 2019). Cerita dari lima film tersebut masih mengangkat identitas dan cerita kultural masyarakat Makassar. Sialnya antusias penonton tidak lagi sama. Terlebih pada film Maipa Deapati & Datu' Museng. Film ini gagal menjaring minat penonton karena visual pemeran Datu Museng yang diperankan oleh Shaheer Shiekh secara imajiner sama sekali tidak merepresentasikan tampang laki-laki Makassar, sehingga sedari awal calon penonton merasa memiliki jarak dengan film yang ingin ditontonnya.
Ada dua lini yang terbentuk untuk melihat film Makassar sekarang ini. Pertama, film-film panjang yang tampil di bioskop reguler. Kedua, film pendek yang tampil di layar festival. Kecenderungannya pun beragam dan punya segmentasi tersendiri. Pada lini komersil muatan atau isu yang diangkat mengenai tradisi budaya sebagai penanda identitas masyarakat Makassar. Sementara itu, pada lini festival membicarakan isu urban menjadi kecenderungan utama. Kecenderungan ini dapat dibaca sebagai bentuk maupun upaya dalam menjaring penonton. Usaha melihat selera atau segmentasi penonton mungkin menjadi pertimbangan pada bagian ini.
Kedua lini tersebut memiliki tantangan dan hambatan berbeda. Tantangannya adalah bagaimana mengolah bahan dasar cerita yang memiliki unsur tradisi menjadi lebih universal. Sedangkan, hambatan yang kerap kali ditemui adalah keterbasan penulis scenario di kota ini. Khozy Rizal, sineas yang berkecimpung di skena film Makassar, menganggap, “Ini yang kelihatan dalam pandangan saya, kita terlalu fokus menunjukkan 'budaya'. Tetapi hanya budayanya saja. Tidak ada sesuatu yang universal, sehingga penonton di luar Makassar bisa merasa film itu relevan.”
Kebutuhan berjejaring dan berkumpul mempertemukan sejumlah komunitas. Pertemuan antar komunitas melalui rangkaian ekshibisi bisa dilihat sebagai ruang bertukar pengetahuan. Tahun 2016 Cinema Aprisiator Makassar, sekarang Kinotika, menginisiasi sejumlah ruang pemutaran 'alternatif' di Rumata' Art Space. Film-film yang diputar adalah film bergenre fiksi dan dokumenter dari berbagai negara. Dalam pemutaran itu, kalangan mahasiswa masih mendominasi kursikursi penonton. Sementara jumlah penonton yang datang dari kalangan umum relatif minim. Faktor ini disebabkan karena pihak penyelenggara belum mampu menjangkau kantong-kantong penonton baru.
Hadir dalam suatu pemutaran film memberi pengalaman baru bagi penonton. Film-film yang akan diputar juga telah melalui proses kurasi. Sepanjang proses bagi Zhaddam Aldhy Nurdin produser Waesinema, selaku orang yang pernah terlibat mengurusi pemutaran di Kinotika, kenyamanan penonton menjadi hal yang krusial. Menurutnya, persoalan teknis seperti tempat, kenyamanan duduk penonton, suara, dan layar adalah hal utama yang perlu dipertimbangkan baikbaik. Sejauh ini belum ada kegiatan pemutaran yang memenuhi kenyamanan penonton.
Pandangan berbeda diutarakan Rachmat Mustamin, sutradara dan salah satu orang yang sering hadir dalam pemutaran Kinotika, ketika hadir dalam acara pemutaran Kinotika. Jika suara knalpot bogar dan kendaraan di luar ruangan kerap dianggap mengganggu jalannya pemutaran. Rachmat Mustamin justru menanggapi itu sebagai bagian dari pertunjukan. Bising suara kendaraan di luar terdengar autentik dan mencirikan kota sempat.
Kerja-kerja kolaborasi sangat lumrah terjadi pada bidang produksi film di Makassar. Mereka sangat dinamis menyikapi beragam kepala ketika berada dalam satu atap produksi. Jejaring yang mulai terhubung melalui aktivitas ekshibisi atau pemutaran sangat berdampak pada pola-pola kerja kolektif dalam produksi satu sama lain. Mahasiswa yang memiliki persinggungan dengan film cukup diuntungkan dalam hal ini. Melalui lingkaran kecil selepas pemutaran, pembicaraan untuk berkolaborasi tercipta. Dari sana kolaborasi tercipta dan mereka mendapatkan kesempatan besar untuk praktik dalam satu produksi film.
Komunitas membentuk pola kerja yang setara. Proses belajar dan mengorganisir suatu komunitas akan selalu dialami oleh setiap insan di dalamnya. Immitation Film Project merupakan kelompok yang cukup progresif keberadaannya di Makassar. Selain fokus untuk memproduksi, Immitation juga mengurusi distribusi dan workshop. Tahun 2019 Immitation Film Project menyelenggarakan lokakarya IMILAB (workshop) secara mandiri. Program IMILAB juga menggait Kopi Alps untuk menyediakan tempat. Program itu berlangsung selama tiga bulan. Para peserta diberikan materi mulai dari pra produksi sampai pasca produksi pembuatan film.
Tidak hanya melakukan kolaborasi dengan komunitas setempat, Immitation Film Project juga menjalin kolaborasi di luar Makassar. Selain menayangkan film-film produksi Imitation Film Project pada kanal distribusi, mereka juga mengundang komunitas untuk memutar filmnya dalam program One Shoot Project. Pada program tersebut Immitation Film Project membuka kesempatan ke khalayak luas sehingga orang-orang atau komunitas di luar Makassar ikut terjaring. Sesi relaksasi selepas menonton selalu hadir dalam bentuk diskusi.
Tahun 2016 hingga 2018 Imitation Film Project intens memproduksi film seperti A Three Growing Inside My Head (2016), Matahari Memeluk Bulan (2016), Tantarayya (2016), Menenggelamkan Mata (2017), Blue Side On The Blue Sky (2018), dan Sembilu (Imitation Film Project). Dari jajaran film tersebut Menenggelamkan Mata, disutradarai oleh Feranda Aries, masuk Official Selection SGIFF (Singapore International Film Festival) dan Blue Side On The Blue Sky, sutrada Rachmat Mustamin, berhasil menang di Forum Lenteng Award (Arkipel). Film arahan Feranda Aries mengangkat soal isu reklamasi di Pantai Losari, sedangkan film arahan Rachmat Mustamin membicarakan lipa (sarung) sebagai warisan tradisi Sulawesi Selatan.
Kelompok film lainnya bermunculan dari kampus ISBI Sulsel. Dari mahasiswa TV & Media lahir dua kelompok film yaitu Kamar Senyap (2017) dan Tobaine Project (2018). Kedua kelompok ini punya motif yang berbeda. Kamar Senyap adalah sejumlah mahasiswa yang terpantik membuat kelompok belajar film setelah banyak membuat film tugas kuliah. Sedangkan, Tobaine terbentuk dari sekelompok perempuan mahasiswa ISBI yang seringkali tidak mendapatkan posisi dominan ketika produksi.
Kamar Senyap juga terlibat kolaborasi pada bentuk produksi bersama Waesinema. Film kolaborasi Kamar Senyap dan Waesinema berjudul Melati di Tapal Batas mengangkat cerita tentang seorang perempuan yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di lingkup tempat kerjanya berhasil Shortlisted in The Young Filmmakers Category di ReelOzlnd! Australia Indonesia Short Film Festival 2022. Seperti Seseorang yang Sedang Menunggu (2017) menjadi produksi film pertama dari Kamar Senyap. Film ini sukses mendapat perhatian dan sejumlah penghargaan. Bahkan sekarang film ini tersedia di movee., goplay, dan vidsee.
Memiliki pengalaman tidak menyenangkan selama produksi film, Ulfa Evitasari seorang mahasiswa ISBI jurusan TV & Media menginisiasi sejumlah temanteman lainnya membentuk Tobaine. Menyadari bahwa perempuan kerap kali ditempatkan sebagai anak wardrobe, tata rias aktor, dan produksi membuat mereka termantik untuk menciptakan ruang produksi sendiri. Tobaine Project fokus menjejali film dokumenter. Tobaine Mandar (2022), tugas akhir karya Ulfa Evitasari, adalah dokumenter pertama yang mereka kerjakan. Menariknya, seluruh anggota tim diisi oleh perempuan. Hal ini menegaskan bahwa perempuan juga bisa mengisi sejumlah posisi di “dominan”.
Dalam beberapa kali kesempatan, Tobaine turut berkontribusi dalam memulihkan trauma anak-anak yang mengalami bencana alam di Malunda tahun 2021. Mereka bergerak turun ke pengungsian memutar film anak. Bagi mereka, film dapat mengembalikan keceriaan anak-anak korban bencana. Warga pengungsian juga sangat terbuka menerima kehadiran mereka sehingga tidak hanya anak-anak saja yang hadir menonton tetapi para orangtua mereka pun ikut hadir dalam pemutaran. Kejadian ini membuktikan bahwa film sebagai media hiburan sangat cair menyentuh setiap lapisan sosial.
Kolaborasi lain yang cukup militan ditunjukkan oleh M. Ikhwan Muharam, sutradara Panrita Lopi, bersama Elemen Creative Makassar. Berdasarkan cerita dari M. Ikhwan Muharam, film-film yang diproduksi bersama Elemen Creative Makassar fokus merekam sejumlah tradisi budaya para pengrajin kapal Phinisi di kabupaten Bulukumba saat ini. Film Panrita Lopi adalah salah satu hasilnya. Pada proses produksinnya, selain mendapat dukungan produksi berupa peminjaman alat dari Finisia Production, KEPMA Ara Lembanna, Teater Kampong, Sanggar Seni Katangka, RIghness Pecinta Alam Makassar, film juga ini melibatkan sejumlah pemuda daerah setempat agar terlibat dalam pengambilan gambar dengan memberikan workshop terlebih dahulu. Sebelum masuk sebagai pilihan asosiasi 32 besar di Festival Film Indonesia 2021, film Panrita Lopi terlebih dahulu diputar di tempat asalnya yakni Bulukumba. Menurut M. Ihwan, mendirikan layar rakyat di tengah-tengah masyarakat adalah bentuk mengembalikan kembali film tersebut ke tempatnya.
Tidak lama setelah Presiden Jokowi Widodo mengumumkan Indonesia darurat pandemi COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020, tagar diRumahAja berterbaran di mana-mana. Pembatasan sosial diberlakukan di setiap daerah. Sebulan setelah Presiden Jokowi Widodo memberi pengumuman, Wakil Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Pergub No.22 tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 Di Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Ruang publik termasuk mal-mal di Makassar tutup sampai batas waktu yang tak ditentukan.
Sebagai sebuah dampak pandemi khususnya di Makassar, satu bioskop CGV di Daya Grand Square bahkan sampai gulung tikar. Aktivitas komunitas seperti Kinotika sempat berhenti dan ruang-ruang yang menjadi langganan pemutaran seperti Rumata' Art Space juga ikut rehat. Sementara itu, bioskop lainnya belum tahu jelas kapan mereka kembali beroperasi. Distribusi film ke layar arus utama pun menjadi terhambat, di Makassar film Jalangkote Rasa Keju (AIM Production) tayang di bioskop karena pandemi.
Jika dilihat, tentu saja para pekerja film juga menjadi salah satu kelompok yang cukup rentan. Menanggapi situasi pandemi, Makassar seperti menjadi kota yang melawan. Beberapa produksi film tetap berjalan dengan menerapkan protokol kesehatan. Mereka terus mensiasati keadaan agar napas sinema Makassar bisa panjang. Sejumlah produksi akhirnya terus berjalanan di tengah badai pandemi. Jajaran film yang berproduksi di tengah badai adalah Sembilu (Imitation Film Project, 2020), Lika Liku Laki (Hore Pictures, 2020), Ade Ride To Nowhere (Hore Pictures, 2021), dan Tobaine Mandar (Tobaine Mandar, 2021).
Dukungan pemerintah juga terlihat melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (KEMENPAREKRAF) bekerja sama dengan SALAKA.edu dan Indonesia Film Community Netrwork (IFCN) menyelenggarakan Fasilitasi Ide Sinema Kreatif (FESTIF) 2020. Kegiatan ini membuka kesempatan kepada pelaku film untuk mengajukan proposal film pendek dan akan mendapat fasilitas pembiayaan produksi. Imitation Film Project menjadi satu-satunya komunitas terpilih dari Makassar yang mendapatkan fasilitas pembiayaan produksi. Ide cerita film Sembilu, yang hingga tulisan ini dibuat belum rilis, ini semula berangkat dari menanggapi situasi pandemi yang terjadi di Makassar.
Sineas Makassar punya etos berkarya yang kuat. Badai pandemi pun diterjang agar tetap bisa menjaga napas sinema Makassar. Dua film Makassar saat ini yang banyak dapat perhatian adalah Lika Liku Laki dan Ade Ride To Nowhere produksi Hore Pictures. Khozy Rizal selaku sutradara kedua film mengaku senang dengan segala penghargaan dari berbagai festival dan semua pencapaian itu tidak lepas dari peran serta kerja keras setiap crew.
Layar-layar sinema Makassar terus terbentang hingga hari ini. Badai pandemi yang telah dilalui kian mempererat emosional para sineas di Makassar. Entah di daratan mana lagi film-film Makassar ini akan berlabuh. Namun yang pasti, ombak dan badai akan selalu mengiringi pelayaran film Makassar. Semoga laut selalu membersamai kalian.
Karya-karya pilihan kota
Film tidak lagi dapat diakses karena telah ditayangkan pada Apresiasi Film Indonesia periode tahun 2022.
© 2023 Apresiasi Film Indonesia. All Rights Reserved. Bekerjasama dengan Cinema Poetica dan Rangkai.