Kota
Judul
Penulis
Juli 2013 menjadi catatan penting dalam sejarah komunitas film di Kota Jambi dengan lahirnya komunitas film pertama, Forum Film Jambi (FFJ). Para pendiri FFJ datang dari beragam profesi dan disiplin ilmu. Mereka terhubung karena kecilnya ruang Kota Jambi, di mana masing-masing saling bertemu dan terkait satu sama lain. Ada yang lulusan film dan memiliki usaha production house; ada juga yang merupakan aktivis, jurnalis, hingga pengusaha dokumentasi wedding yang beraspirsi jadi pembuat film. Kata “forum” dalam FFJ dipilih agar organisasi dapat merangkul dan bekerja sama dengan pihak mana pun untuk memajukan ekosistem film di Jambi.
FFJ dibentuk sebagai organisasi non-profit. Pilihan tersebut diambil demi mencapai tujuan organisasi dan idealisme para pendiri. Tidak adanya tujuan mengejar profit juga dimaksudkan untuk meminimalisasi kemungkinan konflik internal dalam komunitas pada masa mendatang. Sejalan dengan itu, visi komunitas mengusung pendidikan untuk ekosistem film di Jambi yang bernapas sosial, dengan empat pilar program, yaitu Edukasi, Penciptaan, Kajian, dan Apresiasi.
Hingga tahun 2023, FFJ telah berjejaring dan bekerja sama di tingkat nasional maupun lokal. FFJ menjadi salah satu anggota stakeholder komunitas film di Badan Perfilman Indonesia (BPI) pada tahun 2021, serta menjadi anggota di Lingkar Film Sumatera yang menggarap program Kenduri Serumpun Melayu Film Festival 2023. FFJ juga mengadakan kegiatan apresiasi lewat Festival Film Jambi (2015–2021) yang berisikan kompetisi film fiksi dan dokumenter, pemutaran film, lokakarya, serta seminar. Sedangkan untuk edukasi, penciptaan, dan kajian, ada Camping Film (2019–2021) yang mendorong peserta berkarya melalui lokakarya, bedah film, dan produksi.
Dari tahun ke tahun, komunitas-komunitas film lain terus bermunculan, layaknya kepingan puzzle yang berserakan. Menanggapi fenomena ini, pada 2021 FFJ bersama beberapa komunitas film lainnya mengiinisiasi pembentukan Jambi Film Community Network (JFCN) atau jejaring komunitas film Jambi. Tujuannya adalah agar perwakilan dari berbagai komunitas bisa berkomunikasi dan berbagi informasi tentang segala aktivitas, berita, acara, dan hal-hal terkait dunia film dan ekosistemnya. Menurut data terkini, jumlah anggota JFCN mencapai sekitar dua puluh perwakilan komunitas film. Di luar itu, ada juga lembaga pendidikan menengah seperti Batanghari 8 Sinema, Jurusan Multimedia SMKN 1 dan 2 Kota Jambi serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bidang film seperti Cinema Universitas Jambi, Multimedia Kampus Pink Universitas Dinamika Bangsa, Cinema UIN Sultan Thaha Saifuddin, dan Cinema Aek Ngalir Universitas Batanghari. Semuanya tergolong aktif memproduksi karya karya film dan kegiatan seputar film.
Melalui jejaring, anggota komunitas yang masih baru akhirnya memahami kompleksitas ekosistem film. Mereka juga terpapar oleh hal-hal baru yang mengubah paradigma dalam berkarya. Contohnya, ketika ada sosialisasi Layar Indonesiana dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) di Jambi pada Maret 2023, mereka jadi lebih mengerti soal produksi, mulai dari penulisan hingga penyutradaraan. Pengetahuan lainnya, seperti pembuatan proposal hingga pentingnya legalitas atau badan hukum organisasi, juga didapatkan oleh para pegiat komunitas.
Dari 2019 hingga saat ini pertumbuhan komunitas film di Jambi terjadi secara pesat, hal ini seiring dengan banyaknya bantuan dari pemerintah kepada komunitas-komunitas film di Jambi. Pada 2019 FFJ mendapat bantuan peralatan dari Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Pada 2020 Komunitas Ruang Film Rakyat mendapatkan dukungan berupa program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kemendikbudristek dan menghasilkan film _Batanghari Tak Pernah Ingkar Janji (2020). Pada 2021, Husni Turion selaku ketua Ruang Film Rakyat lolos pada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Subsektor Film oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan film Mendayung Harapan (2021). Pada 2022, FFJ dan Komunitas Gemulun Indonesia lolos pada program Sinema Mikro Dana Indonesiana, menghasilkan program SCREEN SHARE dan Bioskop Rakyat. Pada tahun yang sama, Dimas Arisandi—salah satu Pendiri FFJ dan Ruang Film Rakyat—lolos pada program penciptaan karya kreatif dan inovatif Dana Indonesiana dengan menghasilkan film Mantera Baru (2022).
Meski punya peran dalam terciptanya karya dan program komunitas, pendanaan pemerintah bukan satu-satunya dorongan. Masih ada komunitas film yang bergerak berdasarkan dorongan kreativitas mereka sendiri tanpa bantuan pendanaan dari pemerintah. Salah satunya adalah Komunitas Basecamp Sinema Jambi (BSJ) yang pada 2023 membuat program Sinema Sekolah Jambi, sebuah program penayangan film-film lokal Jambi di sekolah-sekolah se-Kabupaten Muara Jambi, dan Kabupaten Merangin. BSJ turut menghelat program Naik Movie—pemutaran rutin seminggu dua kali film karya lokal Jambi di kedai Kopi Tanya. Selain itu beberapa komunitas film lainnya seperti Forum Film Merangin, Surya Babet Film (SBF), Baek Laku, dan RK Production secara mandiri juga terus menghasilkan karya film dan kemudian memutarkannya dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini merupakan bagian penting dari pembangunan ekosistem perfilman di Jambi ke depannya.
Kelahiran dan pertumbuhan komunitas baru sesungguhnya adalah hal yang menggembirakan dalam perjalanan perfilman di Jambi. Meski demikian, kuantitas komunitas haruslah didukung dengan kualitas. Kabar buruknya, beberapa komunitas yang lahir terkadang menghadapi masalah dalam tata kelola, sehingga kemudian meredup. Oleh karena itu, tidaklah cukup jika komunitas hanya berfokus pada menghasilkan karya yang banyak. Mereka juga perlu memikirkan peningkatan kualitas karya dengan tata kelola yang baik demi keberlangsungan hidup komunitasnya.
Keberlangsungan komunitas menjadi penting, mengingat iklim perfilman di Jambi yang tentu berbeda dengan tempat lain yang lebih maju industrinya. Kegiatan berkesenian komunitas di Jambi terjadi di tengah atmosfer yang didominasi oleh aktivitas bisnis perdagangan, perkebunan, dan pertambangan. Imbasnya, minat generasi muda maupun masyarakat umum terhadap aktivitas perfilman bisa dibilang tidak begitu besar—jauh dari hingar bingar harapan dan potensi positif yang menjanjikan masa depan. Sementara itu, komunitas kadang dinilai sebelah mata atau hanya menjadi jembatan bagi mereka yang berminat menggeluti atau melanjutkan pendidikan film di luar Jambi. Padahal, jika ditekuni dengan serius, terdapat banyak peluang yang bisa mewakili angan-angan untuk menjadi filmmaker melalui program peningkatan kapasitas.
Peningkatan kapasitas di bidang film bisa diakomodasi oleh komunitas. Ketika suatu komunitas terlibat dalam produksi film, sesama anggota komunitas bisa memberikan masukan dari berbagai aspek, seperti segi kaidah teknis, cerita, tema, atau karakternya. Ke depannya, kelompok produksi tersebut juga dapat secara rutin diperlihatkan karya sejenis dengan kualitas yang lebih baik, dengan harapan dapat menghasilkan karya yang sama atau bahkan lebih baik. Kegiatan berbagi informasi, membuka wacana, dan melihat banyak referensi karya lain dari luar Jambi harus terus diupayakan sebagai langkah strategis untuk terus maju.
oleh Alexander Matius
Berbeda dengan kota lainnya, kami hanya menerima empat film dari Jambi, yang mana tiga di antaranya yang dapat ditayangkan dalam Apresiasi Film Indonesia 2023. Film-film dari Jambi tidak terkurasi, melainkan hanya coba dibaca berdasarkan film-film yang ada.
Maak bercerita bagaimana seorang Ibu yang memiliki ketergantungan dengan ponsel dan media sosial yang berdampak kepada kehidupan anaknya sendiri. Mengejar Mimpi adalah judul sebuah kisah dramatis tentang kehidupan remaja perempuan yang mengadu nasib ke kota. Pancit ialah kisah horor dengan bertempat di perkumpulan anak muda yang sedang berlibur.
Film-film Jambi teramat hitam putih. Kita bisa dengan mudahnya melihat ada yang antagonis dan protagonis. Antagonis pada akhirnya akan bertobat atau menyesal di ujung film. Ada yang menarik dari film Mengejar Mimpi bahwa antagonis hampir seluruhnya berada di kota. Penggambaran yang brutal juga muncul dalam film-film Jambi. Mengejar Mimpi menggambarkan begitu bengisnya kota mulai dari perundungan sampai kriminalitas berupa penusukan. Pancit adalah film yang berdarah-darah. Sementara dalam Maak, kebrutalan tidak muncul berlebihan akan tetapi lebih kepada perbuatan si Ibu kepada anaknya. Tampaknya kekerasan seperti ini menjadi hal yang kerap ditampilkan dalam film-film Jambi apabila kita membaca hanya dari tiga film ini saja.
Karya-karya pilihan kota
© 2023 Apresiasi Film Indonesia. All Rights Reserved. Bekerjasama dengan Cinema Poetica dan Rangkai.