Kota
Judul
Penulis
Sejarah perfilman dan komunitas film di Sumatera Utara bisa dikatakan punya latar belakang yang nyaris sama. Keberadaan panggung teater yang lebih dulu eksis mengiringi langkah geliat kegiatan perfilman yang membentuk embrio industri perfilman era Bachtiar Siagian pada medio 1950an di Kota Medan.
Hal ini seolah terulang kembali dengan tambahan detail yang sedikit berbeda sekitar 2004, ketika perfilman perlahan bangkit dengan generasi baru film Indonesia setelah krisis ekonomi pada dekade sebelumnya. Meski begitu, harus diakui juga bahwa pada tahun itu bioskop lokal di Medan sudah mati, digantikan jaringan bioskop komersial berskala nasional. Kesulitan bersaing dengan teknologi lebih baru dan harga terjangkau akhirnya memnuat pengusaha bioskop lokal gulung tikar. Tercatat bioskop lokal terakhir di Medan adalah Bioskop President yang terletak di Deli Plaza.
Saat itu minat warga Medan dan sekitarnya terhadap film bisa dibilang tinggi, meski kegiatan produksi audiovisual terbatas di sejumlah kalangan profesional. Alat produksi film masa itu—video recorder dengan pita magnetik seperti Betacam dan MiniDV—umumnya hanya dimiliki stasiun televisi dan usaha dokumentasi acara pernikahan.
Saat itu juga, hadir sejumlah terobosan yang pada kemudian hari menjadi embrio komunitas film di Medan. Salah satunya adalah STUPA (Studi Teater untuk aPa Aja). Seperti yang tersirat dari namanya, kelompok ini awalnya tidak spesifik fokus ke film, namun pada prosesnya turut melibatkan produksi film independen yang kental dengan semangat teater dan jurnalistik. Kelompok ini dibentuk oleh seniman teater Taman Budaya Sumatera Utara, meliputi alm. Tatang, Tubagus Ayat, dan Darma Lubis. STUPA nantinya hanya menyisakan Tubagus Ayat, yang tetap mempertahankan nama STUPA hingga saat ini.
Embrio lainnya hadir melalui pertumbuhan pesat lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka terpicu semangat jurnalistik yang dimotori para seniman teater Taman Budaya Sumatera Utara, yang pada prosesnya memantik ketertarikan mereka dengan produksi film dokumenter. Capaian menggembirakan dari hal ini: Rute Menantang Bahaya karya Duma Yanti Theresia dan Ressi Dwiana berhasil menjadi finalis Eagle Award 2005—kompetisi dokumenter yang digelar Metro TV.
Dalam kaitannya dengan pembentukan kultur komunitas film di Medan, LSM memungkinkan penghimpunan sumber daya seperti alat produksi, dana, dan jaringan kerja. Akses-akses ini dibutuhkan untuk operasional LSM, khususnya ketika film dilihat sebagai medium strategis untuk advokasi. Salah satu koneksi langsung antara LSM dengan komunitas film di Medan adalah Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (Bitra), yang membentuk Bitra Media Syndicate (BMS). Hidayat Muhammad (Dayat Kampret), salah satu tokohnya, nantinya berperan aktif dalam membentuk komunitas film di Medan. Layaknya LSM, Bitra memanfaatkan film sebagai media untuk mengkhalayakkan program dan gagasan Bitra. Penayangan film seringnya dilakukan di halaman kantor Bitra dan terbuka untuk umum.
Ada juga Sources of Indonesia (SOI), yang terbentuk selepas bencana banjir bandang di Kabupaten Langkat pada 2006. Dipimpin Renta Nababan, organisasi ini mengupayakan penguatan masyarakat melalui keadilan pengelolaan lingkungan hidup. Beberapa program pelatihan dan advokasi yang digelarnya turut melibatkan medium seni, termasuk film. Kegiatan-kegiatan SOI lantas memicu terbentuknya sebuah program khusus film, yakni SOI Film Documentary, yang kemudian berkembang secara independen dengan nama Sineas Film Documentary (SFD) yang dibina oleh Onny Kresnawan.
Embrio-embrio perfilman di Medan lantas disambut dengan aliran pegiat dan sumber daya dari dimensi yang lebih beragam, yakni stasiun televisi dan lembaga perguruan tinggi.
TVRI Sumatera Utara berandil besar memproduksi tayangan bertopik budaya lokal, yang pengerjaannya banyak melibatkan seniman Taman Budaya. Kolaborasi dengan perusahaan televisi negara ini yang mendorong komunitas seniman di Taman Budaya untuk fokus membentuk komunitas film. Sementara itu, pada Desember 2004, PT Deli Media Televisi alias Deli TV—stasiun televisi lokal pertama di Sumatera Utara pertama kali mengudara. Program tayangannya menghadirkan sejumlah film lokal dengan topik dan latar yang lebih urban. Proses pengerjaannya cukup sering melibatkan pekerja audiovisual setempat, yang pada prosesnya melahirkan sejumlah komunitas film. Salah duanya: Manuproject Porductions dan Mata Sapi Productions.
Manuproject Productions lahir dari semangat untuk mengadakan program reality show di Deli TV pada awal 2005. Komunitas ini awalnya berdiri dari mayoritas mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Negeri Medan, yang lantas terjun ke kerja produksi profestional dengan belajar otodidak mengoperasikan alat produksi saat produksi program Deli TV. Pada 2017, para pendiri Manuproject Productions memutuskan untuk melegalkan kelembagaannya dengan nama Yayasan Sinema Manuproject Productions Indonesia.
Kemunculan Mata Sapi Production juga terhubung dengan Deli TV. Komunitas ini terbentuk dari eks karyawan Deli TV yang berambisi melanjutkan kreativitasnya di produksi audiovisual. Mereka adalah Hendry Norman, Mameng, dan Ichsan.
Sekitar 2006, di kampus Institut Teknologi Medan, komunitas teater mahasiswa kemudian tertarik memproduksi film sebagai bagian dari pengembangan seni yang kemudian melahirkan komunitas Kopi 52 Medan yang didirikan salah satunya oleh Andi Hutagalung. Komunitas ini kemudian mengalami banyak perkembangan, hingga akhirnya Andi merintis Media Identitas setelah menang penghargaan melalui film dokumenter hasil produksinya.
Pada awal 2007, di beberapa kampus kota Medan, mahasiswa mulai tergerak untuk membentuk komunitas pecinta film. Di Universitas Negeri Medan, sejak dibentuknya Manuproject Productions, gerakan awal ini melakukan perekrutan mahasiswa dan mulai banyak memproduksi film-film pendek. Mereka turut menyelenggarakan Festival Film Pendek Unimed di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara dengan mengundang beberapa tokoh perfilman dan wartawan senior seperti AR Qamar dan dan Muhammad Tok Wan Haria. Capaian-capaian ini meyakinkan para pengurus Manuproject Indonesia untuk menyebut diri mereka sebagai komunitas film.
Pada tahun yang sama, mahasiswa Universitas Sumatera Utara (melalui FISIP USU) juga mulai membentuk komunitas pecinta film yang kemudian melahirkan kine klub. Dari sini, terbentuk komunitas Rumah Film Indonesia yang dikenal sebagai RuFi. Komunitas lain yang lahir dari gerakan ini adalah Opique Pictures, yang digagas oleh Muhammad Taufik, salah seorang mahasiswa FISIP USU. Gerakan komunitas film bentukan kampus Universitas Sumatera Utara ini turut melibatkan dr. Daniel Irawan dalam aktivitas komunitas perfilman.
Menjamurnya kegiatan produksi lantas memicu perkembangan lain: penjualan film melalui keping VCD dan DVD, berdampingan dengan film bajakan dari luar negeri. Produksi dan distribusi lokal menjadi prestise sendiri, yang pada prosesnya menjadi sebuah tren di kalangan pegiat perfilman Sumatera Utara. Menariknya, kala itu, para pelakunya bahkan belum menyadari arti kata komunitas film. Mereka bertindak layaknya rumah produksi tanpa badan hukum dan izin usaha. Mereka bahkan tidak pernah mengurus administrai sensor. Mereka lebih banyak termotivasi oleh kemungkinan profit dari penjualan keping VCD dan DVD. Film yang terhitung fenomenal pada masa ini adalah Golden Egg (2012) karya Rius Suhendra. Penjualan film berbahasa Hokkien ini menembus angka empat ratusan juta Rupiah.
Di tengah tren bisnis dadakan ini, terobosan lain terjadi tengah masyarakat Tanah Karo. Tenori Sembiring Keloko (Ori Semloko), yang baru saja menamatkan studi ilmu komunikasi di Yogyakarta, menghimpun kawan-kawan dengan semangat belajar serupa untuk coba-coba produksi film. Proses yang digeluti sejak 2010 ini menghasilkan sejumlah film. Salah satunya adalah sebuah film laga dengan silat tradisional Karo. Judulnya Nggara. Film ini terhitung laris di pasaran keping VCD dan DVD.
Sebagai pegiat perfilman Tanah Karo, Ori sebenarnya sudah banyak membuktikan melalui karya-karya filmnya yang cukup berprestasi di luar Sumut. Salah satu pencapaiannya adalah pembuatan film layar lebar yang diangkat dari novel romansa berlatar Karo berjudul Jandi La Surong (Janji yang Tak Terpenuhi) yang diputar di beberapa tempat, termasuk bioskop Medan dan Jakarta dengan sistem penyewaan layar bioskop.
Film tanpa tanda lulus sensor dan mampu meraih jumlah penonton yang hampir mencapai 2000 orang penonton—sebuah prestasi yang tidak bisa dianggap sepele, apalagi di Sumatera Utara. Prestasi ini seharusnya mampu meletakkan fungsi pemerintah daerah ke dalam ekosistem perfilman. Apalagi dalam film itu pemerintah daerah terlibat sebagai penyandang dana. Sayangnya, justru masalah terjadi karena pemerintah dianggap ingkar dan abai terhadap kewajiban, sehingga pembiayaan produksi film terbengkalai, yang menjalar hingga pemutaran filmnya setelah produksi selesai.
“Kemarin tahun 2020, kami masukin filmnya [Jandi La Surong] ke Piala Maya. Ternyata masuk filmnya ke nominasi untuk film non exhibition, dan ternyata itu juga belum memberikan sesuatu, kita bukannya ngarep kita diperhatiin itu enggak, tapi minimal produk yang kita persembahkan dari suatu tempat melalui sebuah film lebih bisa diapresiasi, atau pun yang namanya pemerintah kan sebagai orang tua. Sebenarnya apa lagi kami membangun dari nol di suatu tempat (Tanah Karo) dengan aktivitas perfilman,” tutur Ori mengenang buruknya dukungan dan partisipasi pemerintah daerah tempatnya memulai karir sebagai sineas lokal dari dasar.
“Nah selesai itu aku sudah lebih sering menggarap film dokumenter, film pendek, gitu dengan teman teman yang di Medan dan mulai expansi dengan beberapa wilayah di luar Karo, ada kabupaten Toba, Simalungun, kemudian yang terakhir kita garap mengenai agama Parmalim, yang terakhir aku garap film dokumenter pendek,” lanjut Ori. Baginya, buruknya partisipasi pemerintah daerahnya tidak menyurutkan langkahnya untuk berkarya, bahkan semakin matang dan mengurangi asa untuk bergantung pada dukungan pemerintah.
Berbagai kumpulan yang disebutkan kala itu belum tegas menyebut diri sebagai komunitas film, walau kegiatan mereka sudah memenuhi ciri komunitas film. Kebanyakan dari mereka masih menganggap diri mereka sebagai rumah produksi, yang kegiatan utamanya memproduksi film dan sesekali menggelar penayangan film.
Keseluruhan gerakan awal terbentuknya komunitas film di Sumatera Utara membentuk pola manajemen komunitas yang beragam. Tidak banyaknya sosok yang berlatar belakang pendidikan di bidang perfilman, menjadikan kualitas film yang dihasilkan juga tidak bisa disetarakan dengan kualitas film industri layar lebar.
Satu alasan yang sering digunakan saat itu adalah gerakan film independen— sebuah gerakan film yang sebelumnya sudah hadir sejak Reformasi 1998 untuk menentang gunting sensor. Bagi komunitas film di Sumatera Utara, tak peduli yang lahir dari idealisme ataupun industri rumahan, kualitas film di awal lahirnya komunitas film ini semuanya hampir mirip: film tanpa format naskah yang standar, teknik garapan yang kurang rapi, gelap, tidak stabil, eksperimen dengan shot, sound kurang jelas, dan jalan cerita yang terlalu mudah dipahami atau malah sulit dipahami dengan alasan eksperimental. Ini juga terjadi tidak jauh karena alasan tidak adanya sumber daya manusia profesional, minimnya pengetahuan produksi film, pendanaan produksi film ala kadarnya, serta ketersediaan alat produksi apa adanya. Walau berada di tengah kondisi itu, komunitas film tidak jarang justru menjadikan beberapa film tadi sebagai cult film yang langganan ditayangkan. Film-film tersebut didiskusikan bersama di kegiatan-kegiatan kecil yang mereka selenggarakan sendiri.
Beberapa dari mereka justru juga mendapat perhatian pemerintah daerah yang juga mulai tertarik melirik aktivitas perfilman sebagai kegiatan yang perlu dilaksanakan. Ragam programnya merentang dari produksi video profil, penayangan dan diskusi film, hingga kompetisi film pendek. Dalam kerangka program ini, istilah festival film diterjemahkan semata sebagai perlombaan film, tanpa ada pertimbangan bagaimana film-film partisipian ditayangkan di hadapan penonton lebih luas. Tak jarang justru penonton festival adalah sesama peserta lomba. Bisa dikatakan generasi awal terbentuknya komunitas film di Medan adalah sekumpulan orang yang mengalami prosesnya sendirian, tanpa pernah menyadari kehadiran komunitas sejenis di luar lingkar sosial mereka.
Pada 2013, setelah beberapa tahun berproses tanpa saling mengenal satu dengan yang lain, lima komunitas film berkumpul dan melahirkan proses kolaborasi produksi dan pemutaran film omnibus Bohong. Mereka adalah Manuprojectpro Indonesia, Mata Sapi, Media Identitas, Opique Pictures, dan RuFi yang belakangan digantikan oleh Mataniari karena perbedaan visi dan misi. Semangat kolaborasi ini kemudian melahirkan semangat untuk bersatu dalam Komunitas Film Sumatera Utara atau KoFi Sumut, yang diniatkan sebagai wadah berkumpulnya komunitas-komunitas film se-Sumatera Utara.
Setelah penayangan keliling omnibus Bohong, KoFi mendapat tawaran dari TVRI untuk mengisi program acara televisi mengenai hasil karya “film indie”— demikian para pegiat film ini menyebut jenis film mereka di Sumatera Utara. Hal ini menjadikan semangat untuk para komunitas yang berhubungan dengan film untuk bergabung membesarkan KoFi Sumut pada saat itu. Gerakan ini tidak maksimal selain karena ketidakpahaman semua komunitas untuk mengelola sebuah komunitas yang lebih besar, juga akibat persaingan sengit antara komunitas yang tergabung di dalamnya.
Peran Alex Sihar dan Darma Lubis membawa keterlibatan KoFi Sumut dalam penyelenggaraan Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2014 di Medan. Kegiatan AFI 2014 mampu mengumpulkan komunitas film di Medan dan sekitarnya untuk aktif berhimpun. Pertemuan ini menghasilkan kegiatan apresiasi dan diskusi di sejumlah tempat, meliputi kampus, kafe, hingga gedung pertunjukan Taman Budaya Sumatera Utara.
Di titik ini, semua komunitas film terlibat dengan lebih aktif serta mencatatkan diri pada nasional bahwa komunitas film Kota Medan beserta karya-karyanya diakui eksistensinya. Hal yang ‘dijual’ melalui kegiatan ini adalah capaian komunitas film di Sumatera Utara. Sebagai industri rumahan, skala perfilman di Sumatera Utara setara atau bahkan melampaui gerakan film sejenis di daerah lain di Indonesia. Persaingan sengit antara komunitaes film di luar dugaan malah memantik efek positif. Tampak ada upaya untuk melampaui standar yang ada. Tampak pula upaya untuk menunjukkan ciri berbeda.
Salah satu komunitas yang berdiri di era ini adalah Nine Star Productions. Komunitas ini terbentuk di SMKN 9 Medan melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Awalnya, kumpulan ini belum berupa komunitas, hanya sebatas perkumpulan pembuatan project bersama teman yang didampingi oleh guru di sekolah. Kumpulan ini kemudian memproduksi film untuk mengikuti Festival Film Anak Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) 2016. Hasilnya: film karya mereka mendapat juara satu.
Kemenangan ini memicu inisiatif untuk membentuk komunitas film untuk mewadahi para siswa yang bukan dari jurusan Multimedia yang ingin belajar dan berkeinginan untuk memproduksi film.
Generasi siswa sekolah lainnya turut merintis hadirnya lulusan-lulusan jurusan film dari kampus luar Sumatera Utara yang menamatkan kuliahnya dan kembali ke kota Medan dengan semangat yang sama yaitu bersaing dengan komunitas film yang sudah ada sebelumnya. Lulusan Institus Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia (ISI), atau kampus dengan jurusan film lainnya kemudian menginspirasi generasi yang lebih muda untuk bergabung membentuk komunitas film yang baru. Kampus jurusan film dan televisi juga muncul di Kota Medan, yang kemudian disusul dengan SMK jurusan perfilman.
Sekitar Agustus 2015, Muhammad Fazruchi K—alumni Jurusan Film dan Televisi ISI Yogyakarta—mendirikan Fisabilillah Production (Fispro) karena kegelisahan terhadap semakin maraknya film-film yang dianggap mengangkat tema yang tidak mendidik untuk generasi muda dan langkanya film-film lokal bernafaskan Islami. Kegiatan Fispro secara umum adalah memproduksi film dan menayangkan film sebagai media dakwah.
Dua komunitas ini mengalami fase berbeda. Setelah AFI 2014, hampir bisa dikatakan semua komunitas film yang tergabung dalam KoFi Sumut tadi kembali sibuk dengan aktivitas perfilmannya masing-masing. Beberapa di antaranya bahkan sudah tak lagi terdengar kabarnya. Hal ini menjadikan komunitas film yang baru terbentuk setelah AFI 2014, termasuk Nine Star Production dan Fisabilillah Production, tidak selalu mendapat informasi dengan apa yang terjadi di luar komunitasnya, bahkan juga tidak mengikuti apa yang terjadi dalam KoFi Sumut.
Dari apa yang terjadi pada Nine Star Production dan Fisabilillah Production, dapat diamati satu variabel menarik yang menjadikan keduanya tetap eksis dan bertahan hingga saat ini sejak 2015 dan 2016. Nine Star Production langganan menjadi nominator dan pemenang Festival Film Anak Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA). Ada insentif bagi mereka untuk terus bertahan dan tetap berproduksi setiap tahunnya, karena merasa diakui keberadaannya dan diapresiasi karyanya. Hal yang sama terjadi juga dengan Fisabilillah Production, yang menurut pengakuannya langganan jadi nominasi dan pemenang di Festival Film Islami sejak 2016.
Perkembangan teknologi internet yang pesat serta semakin murahnya alat produksi film menjadikan semakin banyaknya komunitas film yang lahir dengan beberapa kali ikut dalam kegiatan-kegiatan bidang perfilman yang diprakarsai oleh pemerintah daerah, maupun komunitas film lainnya. Media YouTube kemudian menjadi tempat menampilkan karya-karya film hasil produksi komunitas film di era ini. Walaupun demikian, semangat untuk menampilkan film karya sineas lokal di layar bioskop juga terus terpelihara. Beberapa film panjang karya komunitas film Sumatera Utara semisal Di Mana Kau Sembunyikan Jodohku (2017), Selembar itu Berarti (2018), Sang Prawira (2019), Jandi La Surong (2019), dan A Thousand Midnight at Kesawan (2022) berhasil tayang di layar bioskop sebagai bentuk pencapaian tersendiri bagi ekosistem perfilman di Sumatera Utara.
2018 menjadi sebuah milestone kegiatan besar komunitas film di kota Medan dengan hadirnya proyek pembuatan film layar lebar berjudul Haji Asrama produksi SFD. Gerakan kolaborasi dengan melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah, swasta dan komunitas film sempat memperlihatkan kekompakan antar komunitas film di Sumatera Utara yang sangat tinggi dalam kegiatan produksi film. Sayang, kemudian project ini terhenti karena kurangnya dana yang terkumpul untuk mampu melanjutkan ke tahapan produksi, walaupun sudah ada beberapa kegiatan syukuran yang terlaksana atas nama produksi film ini.
Pada tahun yang sama, Lake Toba Film Festival juga lahir dari RKI yang diselenggarakan di pinggir Danau Toba dan melibatkan hampir semua komunitas film yang tergabung di KoFi Sumut, maupun komunitas-komunitas film lain di daerah sekitar Danau Toba. Program LTFF ini terus berlanjut hingga saat ini dan dapat dianggap sebagai satu-satunya program perfilman yang mampu mempersatukan semua komunitas film di Sumatera Utara hingga saat ini.
KoFi Sumut yang pernah tampil dengan semangat kebersamaan yang kuat di penyelenggaraan AFI 2014, hingga saat ini masih dianggap sebagai satusatunya wadah perkumpulan yang mampu menyatukan mayoritas komunitas film maupun sineas di Sumatera Utara. Jargon “KoFi Sumut Masih Ada!” yang terus menjadi slogan di tiap perayaan hari jadinya, tetap menjadi sebuah kalimat penyemangat untuk tetap bersatu, walau semakin banyak masalah yang terjadi di antara mereka semua dan kurangnya kesempatan untuk bertemu bersama. Karena hal ini juga lah, terjadi jurang pemisah dengan komunitas-komunitas film lainnya yang baru bermunculan, walaupun kemudian, satu per satu mereka yang sudah diperkenalkan tentang KoFi Sumut ini kemudian diajak untuk masuk ke dalamnya yang saat ini masih berupa sebuah grup WhatsApp yang tidak memiliki kepengurusan yang definitif dan masih bercampur baur dengan beberapa sineas berdarah Sumatera Utara yang menetap di luar Sumatera Utara.
Tercatat hingga saat ini, kegiatan-kegiatan yang mengatasnamakan KoFi Sumut selalu berjalan dengan kehadiran para anggotanya yang bisa dikatakan lengkap. Penggunaan nama KoFi Sumut pun seakan tidak menjadi sebuah masalah jika digunakan oleh segelintir orang yang masih merasa bagian dari perkumpulan besar ini. Hanya kegiatan Lake Toba Film Festival lah yang selalu konsisten mampu mengumpulkan hampir semua pendiri KoFi Sumut untuk hadir bersama dan melakukan forum diskusi. Selebihnya lebih tepat dikatakan sebagai kegiatan segelintir partisipan KoFi Sumut untuk memeriahkan momen-momen tertentu, seperti hari Film Nasional atau Hari jadi Kota Medan.
Yang awalnya masih berupa komunitas yang lebih banyak melakukan kegiatan produksi dan apresiasi film, akhirnya terbentuklah beberapa perkumpulan yang berfokus pada kegiatan perfilman lain seperti organisasi seni budaya yang berfokus pada penyelenggaraan festival seperti Rumah Karya Indonesia (RKI) yang melibatkan Ori Semloko di tahun 2017 dan komunitas yang berfokus pada pemutaran film karya komunitas lainnya yaitu Layar Indie Project, dengan sosok Robby Saputra sebagai salah satu pendirinya. Kegiatan perfilman lainnya seperti review atau kritik film juga marak melibatkan beberapa nama seperti dr. Daniel Irawan dan Amir Syarif Siregar.
Seiring dengan perkembangan selanjutnya, gerakan komunitas film di Kota Medan ini semakin berevolusi dengan tetap membawa semangat untuk menumbuhkembangkan ekosistem perfilman di kota Medan. Maraknya film-film Indonesia bertemakan Sumatera Utara kemudian membuat ekosistem perfilman di Sumatera Utara juga terus berkembang, termasuk peningkatan kualitas lembaga dan kegiatan komunitasnya. Kesadaran pembentukan komunitas dengan lembaga hukum yang jelas serta kesadaran untuk memproduksi film dengan standar yang dianggap baik oleh industri perfilman nasional menjadikan komunitas film di kota Medan terus berkembang hingga saat ini.
Keseluruhan komunitas film yang eksis di kota Medan dan sekitarnya yang dapat disebut Komunitas Film Sumatera Utara seluruhnya berasal dari semangat kelompok kecil atau perseorangan yang bermodal nekat dan tidak punya bekal kuat di bidang pengelolaan komunitas, bahkan tidak sepenuhnya pula berlatar pendidikan perfilman formal. Hal ini sudah pasti mengalami banyak permasalahan, baik secara internal maupun eksternal komunitas itu sendiri.
Tetapi ternyata bertahan di tengah banyaknya masalah sambil berkarya, baik melakukan produksi film ataupun aktivitas lain yang berhubungan dengan film menjadikan komunitas film di kota Medan justru bertahan menghadapi semua permasalahan tadi. Modal nekat menjadi ciri komunitas film di kota Medan ini sehingga tidak dapat menjadi tolak ukur berapa besaran biaya yang dibutuhkan untuk dapat menyelenggarakan sebuah kegiatan perfilman di Medan ataupun di Sumatera Utara. Bahkan percaya tak percaya, ada yang bermodal bincangbincang dengan pemerintah daerah atau sponsor pun sudah mampu menjadi modal untuk mencairkan anggaran untuk menyelenggarakan kegiatan perfilman.
Aroma persaingan diantara komunitas-komunitas yang ada sebenarnya bisa dimaklumi mengingat bahwa modal nekat ini harus disertai pula dengan kecurigaan dan ketidak-mudah-percayaan yang tinggi di antara komunitas film. Kebanyakan dari mereka tidak punya perencanaan jangka panjang yang bisa dikatakan sebagai program yang sustainable. Ketidakjelasan apakah program mereka bisa dijalankan atau tidak mengakibatkan persaingan yang tinggi. Persaingan ini sedikit memudar ketika mereka bisa menemukan kesamaan capaian program mereka masing-masing dalam diskusi bersama yang terfasilitasi oleh pemerintah, maupun salah satu diantara mereka sendiri.
Saat ditemukannya persamaan ini, maka yang muncul berikutnya selalu adalah sebuah produk kegiatan yang lebih besar dan mampu memuaskan lebih banyak pihak, walaupun jika berseberangan, maka pihak yang berbeda itu, tidak secara aktif ikut berpartisipasi, melainkan mungkin juga akan membuat kegiatan tandingan sebagai bentuk perlawanan.
Sebagai contoh kegiatan Lake Toba Film Festival (LTFF) yang sudah berjalan selama 5 tahun yang diselenggarakan oleh RKI yang mampu secara konsisten mempersatukan lebih banyak komunitas film untuk berpartisipasi dalam kegiatannya, baik itu melalui eksebisi karya film, produksi bersama, maupun forum diskusi yang seringnya lebih layak disebut forum debat daripada diskusi. Tapi kemampuan LTFF untuk mempersatukan ini lah yang patut diapresiasi di tengah persaingan yang sengit antara komunitas film di Medan dan Sumatera Utara ini.
Tujuan besar dari kehadiran semua komunitas film ini sebenarnya tidak jauh dari mempertahankan eksistensi, sambil berupaya mendapatkan popularitas dan terutama keuntungan materiil. Bagi sebagian besar komunitas film yang tidak memiliki sistem kelembagaan yang sehat dan program yang konsisten dan mampu dipertanggungjawabkan, proses yang terjadi berikutnya adalah eksploitasi besar-besaran yang mengakibatkan kecurigaan dan pandangan negatif satu dengan yang lainnya. Bagi mereka, kesempatan yang diraih oleh sebuah komunitas di luar mereka dianggap sebagai hasil dari eksploitasi terhadap mereka juga. Inilah yang kemudian menjadikan semua usaha untuk bersinergi biasanya kandas sebelum dilaksanakan.
Tetapi dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan di bidang perfilman yang disertai peningkatan kualitas manajerial beberapa komunitas film di kota Medan, saat ini arah ekosistem perfilman di kota Medan semakin baik dan mengarah ke pencapaian standar yang diakui secara nasional. Hal ini terbukti dengan banyaknya fasilitasi yang didapatkan komunitas film dari program nasional oleh beberapa pihak dengan syarat kualifikasi yang tinggi sekalipun. Sebut saja Banper Kemenparekraf, Dana Indonesiana, Fasilitasi Kemendikbud Ristek dan beberapa fasilitasi tingkat nasional lainnya. Pencapaian ini tentu diharapkan mampu berhasil meningkatkan kualitas komunitas film lainnya, baik melalui cara kolaboratif, maupun persaingan sekalipun. Semoga!
Karya-karya pilihan kota
Film tidak lagi dapat diakses karena telah ditayangkan pada Apresiasi Film Indonesia periode tahun 2022.
© 2023 Apresiasi Film Indonesia. All Rights Reserved. Bekerjasama dengan Cinema Poetica dan Rangkai.